HUBUNGAN INDUSTRIAL ERA BARU PARADIGMA LAMPAU
Olen : Subiyanto Pudin,S.Sos. (*)
Hubungan Industrial adalah sistem hubungan antara para pelaku produksi
barang dan jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh
dan pemerintah. Di Indonesia idealnya sebagai negara yang menganut azas
negara Pancasila dan UUD 1945. yang sudah menjadikan nilai-nilai tersebut
sebagai konsensus nasional sebagai dasar berbangsa dan bernegara yang mestinya
nilai –nilai tersebut dapat kita rasakan dan dilaksanakan secara nyata bukan
hanya sekedar lipstick belaka dalam proses pergaulan dan pelaksanaan
hubungan industrial.
Sistem hubungan industrial adalah suatu formulasi dan strategi untuk
mensinergikan kekuatan para pelaku agar dapat tercapai produksi barang dan jasa
secara optimal sekaligus mengatur benturan kepentingan antara pelaku-pelaku
dalam hubungan industrial tersebut.
Hubungan antara pengusaha dan pekerja/buruh adalah pola hubungan yang
paradoks,satu sisi pengusaha dan pekerja/buruh dalam proses mempunyai
kepentingan dan tujuan yang sama agar menghasilkan barang/jasa secara optimal,
namun dalam sisi yang lain dalam hal pembagian hasil pencapaian proses dan
distribusi kemakmuran kedua pihak terjebak dalam sifat manusia
sebagai “homo homoni lupus”. Cenderung egois, menjadi manusia “serigala” pemangsa
manusia yang lain.
Pertanyaannya adalah, Mengapa sistem hubungan industrial di
Indonesia dalam era reformasi ini tidak segera mengurai kompleksitas masalah
ketenagakerjaan yang sekian lama belum dapat diperbaiki, bahkan masalah
ketenagakerjajan semakin hari semakin carut marut dengan kompleksitas
problematik yang mepengaruhinya ? Dugaan awalnya bahwa dalam
sistem HIP “Hubungan Industrial Pancasila” tempo dulu dimasa Rezim
orde baru berkuasa, kekuatan sistem itu dilakasanakan dan dipertahankan
dengan Hyper kekuasaan yang memangsa komponen sistem yang lemah
(pekerja/buruh). Pada saat itu Sikap kritis gerakan protes dari pekerja/buruh
diberangus oleh penguasa yang dianggap ganguan dari sistem itu sendiri, Sistem
ini beroperasi layaknya predator dalam rimbah, Karateristik sistem HIP yang
otoriter itu masih mengakar kuat dalam tataran praktis sampai saat ini, terasa
banyak sekali campur tangan yang diluar sistem yang ingin mendapatkan pembagian
kue dengan dalih“kekuasaan” dengan konsep KKN nya.
Pada era itu kompleksitas dan dinamika permasalahan ketenegakerjaan yang
terjadi tidak ditanggapi dengan dialog melainkan dengan intimidasi dan terror
terhadap pekerja/buruh. contoh terakhir terjadinya kasus pembunuhan terhadap
aktifis SPSI di jawa timur Sdri.(Alm) Marsinah., Dari luar sistem ini tampak
stabil tapi fakta menunjukan setelah sekian puluh tahun bertahan, sistem ini
akhirnya jebol juga seiring momentum perlawanan rakyat terhadap sistem
kekuasaan negara yang dilaksanakan secara otoriter dalam segala dimensi
kehidupan.
Dirubah menjadi HII ” Hubungan Industrial Indonesia”di era reformasi
yang menuntut katerbukaan, keadilan dan kemitraan. Telah sekian lama berjalan
sejak tahun 1998 sampei sekarang masih belum kita rasakan perubahan yang
signifikan karena kita belum dapat merubah paradigma itu “ Paradigma Lampau”. Perubahan
yang dialukakan baru sebatas kulit ari belum menyentuh isi yang terkandung
didalamnya.
Dalam sistem HII di era reformasi, Hubungan antara pelaku mestinya
dibangun diatas landasan keterbukaan, Keadilan (fairness) dan kemauan
untuk berbagi baik dalam beban dan tantangan maupun berbagi dalam hal hasil
pencapaian produksi dan distribusi kemakmuran. Dalam sistem ini protes/kritik
dari buruh adalah bagian dari sistem yang harus dilihat sebagai dinamika
komunikasi untuk mengelola kompleksitas masalah tenagakerjaan yang super
kompleks idealnya dalam pelaksanaan HII jadikanlah lawan bicara sebagai teman
berfikir untuk mencari solusi terbaik yang WIN WIN SOLUTION.
Di era globalisasi ini pasar dan akses informasi yang tanpa batas,
paradigma hubungan pengusaha dengan pekerja/buruh harus segera berubah.Dalam
proses,kedua pihak harus bersinergi agar mampu melewati dan melampaui tantangan
global,demikian juga dalam pembagian hasil pencapaian atau distribusi
kemakmuran,pengusaha harus legowo untuk berbagi.
Bila kedua belah pihak menyadari dan mempunyai kemauan hubungan yang
dibangun atas prinsip kemitraan. Hal ini sangat relevan karena keduanya saling
membutuhkan.
Substansi dari sebuah Kemitraan adalah pihak yang sekian lama menikmati
kemakmuran (Korporasi) ada kemauan baik (Good Will) berbagi untuk
mengangkat derajat mitranya (Pekerja) yang terjerembab dalam sistem yang
memiskinkan mereka, karena hakikatnya kemakmuran yang diraih dan dinikamti
korporasi selama ini merupakan hasil dari perjuangan bersama.Bukan sebaliknya,
pihak yang telah makmur berdiam dimenara gading kemakmuran dengan
berpura-pura tidak melihat dan mendengar jeritan mitranya yang tersengal-sengal
bernafas dalam lumpur kemiskinan akibat pelaksanaan Upah Minimum yang dijadikan
sebagai Upah Maksimum oleh Pengusaha yang bermental “Pedagang”dengan
paradigma lampau (Kuno).
Pola interaksi dan sejarah orientasi berpikir pekerja hakekatnya tidak
dapat dipisahkan dari kondisi politik dan ekonomi pada waktu peristiwa itu
terjadi, namun kesadaran perlu adanya hubungan industrial yang sehat mulai
muncul ketika masa Revolusi Industri di Inggris. Sedangkan di Indonesia mulai
gencar di dengungkan ketika masa orde baru. Hubungan Industrial dimaksudkan
untuk mengarahkan pada pola hubungan industrial yang sehat, dinamis dan
berkeadilan.
Revolusi Industri dianggap mengurangi banyak peran manusia (tenaga
kerja) dalam berbagai industri, peran manusia dimaksud digantikan oleh tenaga
mesin. Revolusi Industri mengakibatkan bertambahnya angka pengangguran dan
biaya tenaga kerja sangat murah. Yang paling marah adalah banyaknya pelanggaran
HAM. Kemudian pada tahun 1919 mendorong lahirnya ILO (Intenational Labour
Organisation), pada awalnya menitik beratkan ke dalam masalah perlindungan
tenaga kerja secara fisik. ILO sangat memperhatikan masalah jam kerja yang
tidak menentu, serta perlakuan para pemilik perusahaan terhadap para pekerja
yang berada di luar batas kemanusiaan.
Tujuan pendirian ILO adalah untuk menegakan masalah Hak Azasi Manusia
(HAM). Hak-hak paling penting adalah masalah kebebasan berserikat (freedom of
assosiation). Peran ILO dimaksud memiliki hubungan langsung dengan fungsi PBB,
karena ILO instrument penting dari PBB, bertujuan untuk mempertahankan dan
meningkatkan kebebasan manusia, khususnya kemerdekaan sipil (Civil liberties).
Wujud dari maksud tersebut dapat ditenggarai dari unsur-unsur yang dimuat dalam
Konvensi ILO, tertutama di dalam penetapan tujuan ; standard internasional yang
perlu diterapkan di bidang ketenagakerjaan ; serta program-program yang
dilaksanakan oleh International Labour Office (Instrumen dalam ILO).
Kebebasan berserikat merupakan prasyarat penting bagi tumbuhnya
demokrasi yang sehat. Spirit kebebasan yang diatur di dalam Konvensi ILO banyak
mendorong tumbuhnya organisasi pekerja, organisasi masa dan organisasi lainnya
yang terkait dengan kemerdekaan sipil (Civil libertias). Konvensi ILO
memberikan ruang yang luas kepada masalah kebebasan berserikat dan Perlindungan
Hak Berorganisasi, sebagaimana yang diatur didalam Pasal 2 Konvensi ILO No. 87,
kebebasan tersebut bukan hanya milik pekerja, melainkan juga diberikan kepada
pengusaha.
Pasal dimaksud menyatakan, Bahwa : “Pekerja dan Pengusaha, tanpa
perbedaan (distiction) apapun mempunyai hak untuk membentuk dan, tunduk pada
ketentuan-ketentuan dari organisasi yang bersangkutan, untuk ikut organisasi
pilihan mereka sendiri tanpa ijin (authorisation) lebih dahulu”. Pengecualian
diatur didalam pasal 9, yakni bagi Angkatan Bersenjata dan Polisi boleh
ditentukan oleh hukum atau peraturan nasionalnya.
Didalam pasal 2 diatas, disebut-sebut mengenai organisasi pengusaha.
Dimaksudkan bukan harus mendirikan SP/SB, apalagi pendirian tersebut untuk
tujuan mendinamiosasi SP/SB. Organisasi yang dimaksud adalah suatu organisasi
yang dibentuk oleh para pengusaha sendiri. Di Indonesia yang sering disebutkan
sebagai Organisasi Pengusaha adalah Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO),
menginduk kedalam International Employers Organisation (IEO).
Orientasi SP/SB
Dalam paradigma hubungan politik ekonomi ada yang mengaitkan masalah
reformasi di Eropa pada abad yang lalu dengan ketenagakerjaan. Jalan reformasi
pada saat itu dianggap hasil dialektika dari tarik menarik kepentingan dibidang
ketenagakerjaan dan pemodal. Reformasi adalah suatu thesa dari kehendak para
pemilik perusahaan untuk menyelamatkan kepentingannya, berhadapan dengan
antithesa dalam bentuk kehendak pekerja untuk merebut kekuasaan dan pengaturan
masalah sosial ekonomi. Sampai saat ini masih nampak adanya dialektika
tersebut, sehingga membentuk orientasi tersendiri. Hal ini mendorong perlunya
hubungan industrial yang sehat, dinamis dan berkeadilan.
Sejarah terbentuknya orientasi berpikir diatas tentu agak berbeda dengan
orientasi pekerja di BUMN. Sejarah orientasi pekerja di BUMN lebih banyak
dipengaruhi oleh kesadaran tentang adanya misi dari BUMN tersebut. Di
Indonesia, BUMN dimasa lalu diarahkan untuk berperan sebagai stabilisator
perekonomian dan agent development. Hanya memang ada kewajiban yang sangat
penting, yakni harus mendapatkan keuntungan untuk membiayai usahanya.
Orientasi didalam kamus bahasa Indonesia berarti peninjauan untuk
menentukan sikap (arah, tempat, dsb) yang tepat dan benar ; atau pandangan yg
mendasari pikiran, perhatian atau kecenderungan. Orientasi SP/SB dapat diartikan
sebagai cara untuk menentukan sikap (arah) yang tepat dan benar atau pandangan
yang mendasari pikiran SP/SB. Orientasi SP tertuju kepada kesejahteraan pekerja
yang lebih baik, seperti pada idiom : kehidupan hari ini harus lebih baik dari
hari kemarin, dan kehidupan hari nanti harus lebih baik dari hari ini. Untuk
alasan kesejahteraan, tidak jarang membawa SP/SB dan para aktifis pekerja
melibatkan diri didalam proses perubahan sistim politik – ekonomi negara dan
kebijakan perusahaan.
Orientasi SP/SB di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari
prinsip-prinsipnya yang dimuat di dalam UU tentang SP/SB dan ketenagakerjaan
lainnya. Saat ini dituangkan di dalam UU No.21/2000 tentang Serikat Pekerja ;
UU No.13/2003 tentang Ketenaga Kerjaan ; dan UU No.2/2004 tentang Perselisishan
Hubungan Industrial. Orientasi SP/SB menitik beratkan ke dalam suatu nilai yang
hakiki dari kesejahteraan pekerja dan keluarganya ; menjamin kelangsungan
perusahaan ; dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia pada umumnya.
Di dalam perjalanannya, orientasi SP/SB sangat dipengaruhi oleh skala prioritas
masalah yang harus diselesaikan. Biasanya ditenggarai dari penetapan prioritas
yang menyangkut kesejahteraan dengan kinerja perusahaan dalam Program Kerja
SP/SB
Kebijakan Perusahaan (Mikro).
Upaya untuk memenuhi kesejahteraan yang paling sensitif menyangkut
masalah pengupahan, yakni upah minimum dan upah kerja lainnya. Masalah upah
minimum sering terjadi kesalahan menafsirkan. Upah minimum dianggap tingkat
pengupahan. Jika perusahaan telah membayar sebesar upah minimum, tanpa
mempertimbangkan tingkat, masa kerja dan lain sebagainya, maka sudah menganggap
memenuhi ketentuan. Padahal pengertian upah minimum adalah upah terendah bagi
pekerja tingkat bawah, dalam masa kerja kurang dari satu tahun. Sehingga
pekerja yang memiliki tingkat yang lebih tinggi dan telah bekerja lebih dari
satu tahun maka perlu menerima upah yang lebih besar dari upah minimum.
Masalah yang sering timbul, seperti tunjangan, kenaikan upah, struktur
upah, dan skala upah sering menjadi penyebab terganggunya hubungan industrial.
Berdasarkan penelitian pada tahun 2003, sekitar 80% kasus hubungan kerja dan
hubungan industrial disebabkan masalah tersebut. Persoalan yang mungkin timbul
dikelak kemudian hari terkait dengan fasilitas bagi pekerja yang sudah mulai di
rationalisasikan oleh sistim keuangan perusahaan, sebagaimana diatur didalam
PSAK. Penundukan sistim keuangan ini memberikan warna baru bagi pemberian
remunerasi dan cenderung dianggap pekerja memangkas kesejahteraannya.
Masalah kesejahteraan pekerja idealnya sangat ditentukan oleh tingkat
kinerja perusahaan, semakin besar keuntungan suatu perusahaan maka semakin baik
pula kesejahteraan pekerja. Sehingga ada korelasi antara kesejahteraan dengan
kinerja perusahaan. Persoalan akan muncul ketika peningkatan laba perusahaan
dilepaskan dari perlunya meningkatkan kesejahteraan pekerja. Biasanya karena
tergantung pada aturan perusahaan atau kebijakan pemilik perusahaan. Dalam
peristiwa demikian diniscayakan hubungan industrial akan terganggu.
Kebijakan Politik Ekonomi (Makro)
Masalah sistim politik - ekonomi negara akan sangat mempengaruhi kondisi
dunia usaha dan tingkat kemakmuran umum, termasuk kemakmuran para pekerja.
Kebijakan politik ekonomi adakalanya dianggap penyebab berkurangnya tingkat
kesejahteraan yang seharusnya diperoleh pekerja. Para aktifis pekerja umumnya
beranggapan bahwa masalah tersebut merupakan koridor SP, karena berpengaruh
langsung terhadap kesejahtraan pekerja.
Di Inggris misalnya, organisasi pekerja (partai buruh) menjadi bidan
penting bagi munculnya liberalisasi ekonomi. Di belahan barat lainnya kaum
pekerja menentang globalisasi dan neo liberal yang dianggap bidan kapitalisme
baru. Penentangan dimaksud terkait pula dengan munculnya semangat anti pasar
bebas, yang tidak kondusif bagi proteksi negara terhadap warganya yang tidak
mampu bersaing dengan kekuatan modal besar.
Liberalisasi ekonomi dan privatisasi pernah membuktikan kejayaannya,
terutama ketika Inggris mampu membangun terowongan bawah laut yang
menghubungkan dengan perancis tanpa biaya pemerintah. Semangat ini merebak ke
belahan Perancis dan Amerika. Sehingga ada yang menyebut dengan istilah
“Kapitalisme Anglo Saxon”.
Perusahaan-perusahaan yang diprivatisasi dianggap mampu mendinamisasikan
pertumbuhan usaha dan dapat memenuhi kesejahteraan pegawai secara maksimal.
Sejak saat itu muncul orientasi baru, bahwa nasionalisme kaum pekerja adalah
kesejahteraan. Dalam konsep ini tidak ada lagi pertimbangan, apakah perusahaan
itu milik negara atau milik pengusaha, karena yang penting adalah : “siapa yang
bisa memberikan kesejahteraan yang lebih baik”. Sedangkan pendapatan negara
berasal pajak-pajak perusahaan. Makin tinggi keuntungan perusahaan makin besar
pajak yang diterima negara, bahkan negara dianggap tidak perlu harus bersusah
payah mengurus BUMN, negara cukup mengatur regulasi yang dapat menciptakan
iklim usaha yang sehat.
Liberalisasi dan Privatisasi memiliki konsekuensi, yaitu berkurangnya
peran negara terhadap permasalahan warganya, lebih cenderung mendorong
munculnya hak-hak individu dibandingkan hak-hak kolektif. Negara tidak dapat
memihak salah satu pihak (pemilik modal atau para pekerja) untuk alasan apapun,
harus memperlakukan sama, tidak ada proteksi atau subsidi kepada siapapun,
termasuk kepada warganya yang lemah. Semangat ini sama dengan yang dimaksudkan
didalam Konvensi ILO No. 87. Negara hanya sebagai wasit dan pembuat kebijakan.
Dia memiliki kontrol dari perundang-undangannya, apakah ada pelanggaran atau
tidak. Kekuatan dan kelemahan suatu pihak tergantung dari kemampuan melakukan
survival, di sini terjadi hukum besi ”free fight competition”. Pada tahap ini
timbul perdebatan mengenai dampak positif dan negatifnya.
Pihak yang menganggap berdampak positif lebih melihat kepada hasilnya
yang mendorong timbulnya spirit fichting para pekerja dan perusahaan. Sedangkan
dari sisi negatif menafsirkan bahwa sistim ini lahan subur Kapitalisme, hanya
menguntungkan pihak pengusaha – pemilik modal besar, karena dianggap memiliki
sumber daya yang lebih kuat. Perdebatan demikian merupakan hal yang paling
klasik.
Sebelumnya pernah memicu munculnya perang dingin antara Ideologi Komunis
(timur) dan negara sosialais lainnya dengan Kapitalisme (barat). Ketika perang
dingin berakhir masalah berubah menjadi urusan utara (negara kaya) dengan
selatan (negara miskin). Sehingga dalam orientasi berpikir kaum sosialis
beranggapan bahwa urusan dunia ini hanya dominasi dari masalah ekonomi, seperti
kaya – miskin, tertindas – penindas, buruh – pemilik modal.
Paradigma di atas menjadi sangat menakutkan ketika masalah
ketenagakerjaan direduksi pada kontradiksi-kontradiksi sosial dan ekonomi yang
tak kunjung menemukan jalan keluarnya. Di sisi lain para pemodal barat sangat
asyik dengan laju pertumbuhan ekonomi, tanpa memperhatikan proses pemerataan
dan keadilan di negara ketiga.
Paradigma tersebut pernah terpatahkan ketika Anthony Giddens merumuskan
buku tentang “The Third Way”. Anthony Giddens memberikan thesa bahwa urusan
dunia bukan hanya seperti apa yang ada di dalam paradigma kaum sosialis,
melainkan tersegmentasi menjadi masalah buruh, lingkungan hidup, gender, HAM
dan persoalan lainnya. Namun apapun masalah dan teorinya, praktek sistim
ekonomi sekarang dianggap gagal dan meninggalkan bom waktu munculnya krisis
global yang penuh ketidakpastian. Bagi pekerja menyisakan masalah berkurangnya
lowongan kerja dan menambah pengangguran akibat PHK.
Dialektika dari masalah ketenagakerjaan di atas menunjukan bahwa di
dalam persoalan yang lebih luas terdapat korelasi antara orientasi ketenaga
kerjaan dengan kebijakan politik ekonomi, sedangkan didalam suatu perusahaan
akan dipengaruhi oleh kebijakan ketenaga kerjaan dan keputusan perusahaan
(bisnis dan ketenaga kerjaan). Dialektika tersebut mengubah-ubah orientasi
berpikir segenap insan yang merasa perlu terlibat di dalamnya. Namun orientasi
menjadi rumit ketika muncul kontradiksi yang menciptakan disintegrasi terhadap
hubungan industrial.
Di sini perlu ada kesadaran para pihak, yakni pengusaha, pekerja dan negara untuk menciptakan hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan. Orientasi terhadap pola hubungan industrial yang sehat akan menciptakan pertumbuhan usaha, kesejahteraan pekerja dan memenuhi kepentingan negara. Pola orientasi demikian merupakan sinergi penting bagi peningkatan kualitas hidup dan penghargaan terhadap martabat kemanusiaan.
Di sini perlu ada kesadaran para pihak, yakni pengusaha, pekerja dan negara untuk menciptakan hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan. Orientasi terhadap pola hubungan industrial yang sehat akan menciptakan pertumbuhan usaha, kesejahteraan pekerja dan memenuhi kepentingan negara. Pola orientasi demikian merupakan sinergi penting bagi peningkatan kualitas hidup dan penghargaan terhadap martabat kemanusiaan.
Orientasi SP BNI
Orientasi SP BNI saat ini tidak dapat dilepaskan dari sejarah perlunya
mempertahankan BNI dan memperjuangkan kesejahteraan anggotanya. Dalam hal
kesejahteraan anggota sangat terkait erat dengan perlunya menjamin hak-hak
anggota. Orientasi ini diaktualisasikan melalui berbagai kegiatan. Biasanya
ikut dipertimbangkan tingkat prioritas masalah yang perlu segera diselesaikan
dan cara-cara menyelesaikan masalah tersebut.
Hakekat dari menjaga keberadaan BNI berkaitan erat dengan masalah
kesejahteraan. Mempertahankan BNI sebagai asset bangsa adalah suatu orientasi
yang menitikberatkan ke dalam suatu nilai yang hakiki dari kesejahteraan
pekerja. Lebih jauh menyangkut kesejahteraan anggota dan keluarganya ; menjamin
kelangsungan perusahaan ; dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia
pada umumnya. Orientasi demikian merupakan suatu hal yang riil dan rational,
bahkan dibenarkan di dalam spirit yang terkandung didalam UU. No.21/200,
tentang SP/SB.
Orientasi berpikir SP BNI tentang kesejahteraan, mampu mengantarkan
kedalam proses kesadaran untuk meningkatkan kinerja perusahaan, suatu bentuk
lain dari eufimisme mempertahankan keberadaan BNI. Kesadaran demikian sangat
jelas tertera didalam visi dan misi program kerja 2006 – 2008 dan 2008 – 2010.
SP BNI menitik beratkan pencapaian kesejahteraan melalui peningkatan kinerja
perusahaan. Lebih lanjut di rumuskan menjadi program kerja organisasi.
Kesadaran ini mengantarkan pula kedalam satu langkah mencapai tujuan
kesejahteraan, yakni Industrial Peace. Jika industrial peace tercapai maka
timbul ketenangan kerja (bagi pekerja) dan ketengan berusaha bagi perusahaan
(asp).
R I N G
K A S A
N E K
S E K U T
I F
1. Penelitian
kualitatif ini dilakukan oleh Lembaga Penelitian SMERU untuk Bappenas dengan
dukungan dari PEG-USAID. Tujuan utama adalah untuk mengetahui pandangan
pengusaha dan pekerja/buruh terhadap RUU yang sedang dibahas dan praktek
hubungan industrial di Indonesia selama
masa transisi. Penelitian lapangan dilakukan
selama kurun waktu Oktober - Nopember 2001 di wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang,
Bekasi (Jabotabek), Bandung, dan Surabaya. Informasi diperoleh dari para manager HRD dan
pemilik 47 perusahaan (umumnya perusahaan besar), pengurus dari 42 Serikat
Pekerja Tingkat Perusahaan (SP-TP), pekerja/buruh, pengurus dari Serikat Pekerja/Serikat
Buruh (SP/SB) di tingkat kabupaten/kota, kepala atau staf kantor tenaga kerja
di tingkat propinsi dan tingkat kabupaten/kota, dan asosiasi pengusaha. Informasi juga digali dari data sekunder,
termasuk UU dan peraturan, dan sumber lain seperti media massa. Studi menekankan pada keberadaan dan lingkup
kerja SP/SB dan SP-TP, adanya perselisihan yang terjadi antara pengusaha dan
pekerja/buruh, dan proses penyelesaian perselisihan yang digunakan oleh
perusahaan ini, terutama penyelesaian di tingkat perusahaan.
2. Saat
ini sistem hubungan industrial di Indonesia sedang dalam proses transisi, yaitu
dari sistem yang sangat terpusat dan dikendalikan penuh oleh pemerintah pusat
ke sistem yang lebih terdesentralisasi dimana perusahaan dan pekerja/buruh
berunding bersama mengenai persyaratan dan kondisi pekerjaan di tingkat
perusahaan. Meskipun demikian, banyak komponen dalam sistem hubungan industrial
yang masih dipengaruhi oleh praktek pemerintah pusat di masa lalu yang
paternalistik. Transisi ini sejalan dengan perubahan dalam konteks sosial dan
politik yang lebih luas dimana rakyat Indonesia sedang mengubah dirinya dari
masyarakat yang dikawal ketat oleh regim yang otoriter menjadi masyarakat yang
lebih demokratis.
3. Di
satu pihak, tuntutan pekerja/buruh untuk memperjuangkan perbaikan
kesejahteraan, seperti kenaikan upah dan kondisi kerja yang lebih baik, dapat
dipandang sebagai tuntutan yang dapat difahami. Namun, dalam hal ini, kebijakan
dan peraturan perundangan pemerintah yang mempengaruhi kehidupan ekonomi
pekerja/buruh juga ikut memberikan kontribusi terhadap timbulnya sejumlah
aksi-aksi pemogokan dan demonstrasi pekerja/buruh. Pemogokan dan demonstrasi
pekerja/buruh cenderung meningkat sejak pertengahan tahun 2001. Di lain pihak,
pemulihan ekonomi akibat krisis ekonomi yang berjalan lambat, ditambah dengan
adanya gejala resesi global yang cenderung menurunkan laju pertumbuhan ekonomi
dan tingkat penyerapan tenaga kerja yang terkait dengan tingkat pertumbuhan
ekonomi merupakan suatu dilema tersendiri bagi pengusaha dalam menghadapi
tuntutan para pekerja/buruhnya. Banyak pengusaha melaporkan bahwa kebijakan pemerintah
menaikkan upah minimum nominal sebesar 30-40% pada tahun 2001 telah memberatkan pengusaha.
4. Di
luar isu-isu yang berkaitan dengan upah, temuan penelitian SMERU menunjukkan bahwa
aspek-aspek hubungan industrial telah berfungsi lebih mulus ketimbang yang mungkin
diharapkan di tingkat perusahaan.
Kebanyakan pihak pengusaha, terlepas dari beban "terlalu diatur",
telah mentaati peraturan dan kesepakatan yang baru. Hal ini sebagian disebabkan
karena mereka mengikuti proses negosiasi tripartit. Kesepakatan bersama di tingkat perusahaan
telah mulai memainkan peranan yang lebih penting dalam menentukan kondisi
pekerja di banyak perusahaan di mana serikat pekerja baru didirikan dari tahun
1997 sebagai bagian dari proses reformasi.Lembaga Penelitian SMERU, Mei 2002 iv
Kebanyakan perselisihan dapat diselesaikan melalui dialog bipartit. Hanya
beberapa kasus yang diselesaikan melalui dialog tripartit, termasuk diteruskan
ke Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah dan Pusat (P4D dan P4P).
Baik pekerja/buruh (atau SP/SB) dan pihak pengusaha mengakui ada sedikit
indikasi ketegangan dalam hubungan pengusaha-pekerja/buruh. Akan tetapi, kedua
belah pihak mengakui bahwa mereka masih dalam proses belajar: pekerja/buruh
belajar untuk menggunakan kebebasan untuk mengatur, menyatakan
kebutuhan-kebutuhan mereka, dan menemukan metode negosiasi yang lebih baik, sementara
pengusaha sedang belajar untuk menghargai pekerja/buruh sebagai mitra kerja. Baik
federasi SP/SB dan asosiasi pengusaha menyarankan anggotanya agar menyelesaikan
perselisihan industrial melalui dialog bipartit. Negosiasi tripartit dan
pilihan lainnya yang mengangkat masalah ke tingkat yang lebih tinggi
dianggap membutuhkan biaya lebih besar
dan memakan waktu lebih lama, dan hasilnya belum tentu memuaskan kedua belah
pihak.
5. Hal
yang penting diperhatikan adalah bahwa semua peraturan di waktu yang akan datang
yang disusun oleh pemerintah mempertimbangkan dengan hati-hati dalam menciptakan
keseimbangan antara hak-hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha agar protes-protes
dan unjuk rasa pekerja dapat dihindari. Lebih lanjut, melihat adanya berbagai
opini dan pemahaman mengenai peraturan yang saat ini berlaku dan yang sedang
diajukan, maka pemerintah perlu memberikan pengarahan, pelatihan dan sosialisasi
mengenai peraturan atau undang-undang yang baru. Gerakan serikat pekerja/serikat
buruh yang lebih kuat berarti pemerintah tidak perlu lagi memainkan peran utama
dalam perselisihan hubungan industri, tetapi lebih berperan sebagai fasilitator
dan regulator yang adil.
6. Efektivitas
dan profesionalisme suatu SP/SB tergantung pada tingkat kemampuan mereka dalam
mengorganisasikan dan merekrut anggotanya, tingkat pemahaman mereka atas peran
mereka, fungsi dan peraturan yang ada, maupun seberapa baik mereka dapat
mengkomunikasikan kebutuhan para pekerja, kemampuan bernegosiasi dan menyelesaikan
perselisihan. Hal ini menunjukkan bahwa
kepemimpinan pada tingkat kabupaten dan kota memiliki peran mempengaruhi efektivitas
dari SP/SB. SP/SB di tingkat kabupaten
dan kota umumnya siap membela dan mendukung SP-TP dan para pekerja/buruh dalam
berbagai situasi yang membutuhkan penyelesaian perselisihan. SP/SB juga
merupakan sarana yang efektif untuk meminimalkan gejolak dalam skala yang lebih
besar, karena mereka cenderung memprioritaskan negosiasi di tingkat perusahaan
dan hanya menggunakan pemogokan sebagai pilihan terakhir. Akan tetapi, umumnya
peran serikat pekerja/serikat buruh di tingkat perusahaan dianggap lebihpenting
ketimbang SP/SB di tingkat kabupaten/kota karena mereka memiliki hubungan langsung,
baik dengan pekerja/buruh maupun pengusaha, serta memiliki pemahaman yang jauh
lebih baik atas tantangan-tantangan yang dihadapi keduanya.
7. Beberapa
instansi pemerintah sedang melakukan upaya serius agar sistem berjalan dengan baik
dimana situasi yang terjadi saat ini sangat berbeda, baik dalam lingkungan kelembagaan,
politik, dan ekonomi, dari pemerintahan Soeharto. Meskipun demikian peraturan
yang ada atau yang sedang dirancang dan diusulkan seringkali mengecilkan kreativitas
yang sistem hubungan industrial yang lebih produktif. Di Indonesia, gerakan serikat pekerja/serikat
buruh yang lebih kuat berarti pemerintah tidak perlu lagi memainkan peran utama
dalam perselisihan hubungan industri, akan tetapi pemerintah akan lebih
berperan sebagai fasilitator dan regulator yang adil. Namun hal ini akan berakibat
pada berkurangnya pengaruh dan insentif bagi pejabat pemerintah. Dalam sistem
hubungan industrial yang lebih terbuka dan terdesentralisasi yang menekankan pada
dialog di tingkat perusahaan, dibutuhkan mekanisme penyelesaian perselisihan industrial
yang jelas, setara dan fungsional agar sistem tersebut dapat diandalkan oleh semua
pihak yang terlibat. Sekali lagi,
ditekankan perlunya agar pemerintah menyusunv Lembaga Penelitian SMERU, Mei
2002 peraturan perundangan yang tidak saja memberikan kesetaraan dalam hak dan
kewajiban bagi semua pihak, tetapi juga agar pemerintah menyusun peraturan
perundangan yang memberikan kepastian bagi hubungan industrial. Lebih lanjut,
untuk menghindari kesalahpahaman dan informasi yang salah mengenai peraturan
perundangan tersebut, di masa yang akan datang sangatlah penting bahwa pemerintah
memberikan pedoman dalam memahami dan melaksanakan peraturan dan perundangan
tersebut.
KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM HUBUNGAN
INDUSTRIAL
8. Pada
tahun 1974 pemerintah Orde Baru melahirkan gagasan mengenai Konsep Hubungan
Industrial Pancasila (HIP) yang disusun berdasarkan pertimbangan sosialbudaya
dan nilai-nilai tradisional Indonesia. HIP memberi tekanan pada kemitraan antara
pekerja/buruh, pengusaha, dan pemerintah yang bertujuan mewujudkan masyarakat
industrial yang ideal. Cara negosiasi tripartit mengenai kebijakan dan penyelesaian
perselisihan industri masih tetap menjadi petunjuk dasar dalam masalah hubungan
industri pada periode pasca era Soeharto.
9. Meskipun
ada sedikit perubahan, perundang-undangan yang mengatur hubungan industrial di
Indonesia hampir tidak mengalami perubahan berarti sejak adanya UU No.22 Tahun
1957 mengenai Penyelesaian Perselisihan Buruh dan UU No. 12 Tahun 1964 mengenai
Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta. Pada pemerintahan singkat di
bawah Presiden Habibie tahun 1998 dan 1999 dilakukan langkah penting dalam
hubungan industrial, terutama dalam meratifikasi Konvensi ILO No. 87 Tahun 1948
tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak-hak Untuk Berorganisasi. Hal
Ini merupakan langkah positif menuju
platform hubungan industrial yang
adil, khususnya dalam memberikan perlindungan bagi pekerja/buruh yang akan
membentuk atau menjadi anggota organisasi pekerja/buruh. Di bawah pemerintahan
Presiden Abdurrahman Wahid perundang-undangan baru tentang Serikat
Kerja/Serikat Buruh (SP/SB) disahkan melalui UU No. 21 Tahun 2000. Menurut UU
ini, SP/SB atau SP-TP dapat dibentuk oleh minimum 10 anggota. UU ini juga
menekankan bahwa siapapun dilarang menghalangi atau memaksa pembentukan atau
tidak membentuk SP/SB atau SP-TP. Sama
halnya, tidak ada pihak manapun yang dapat menghalangi pekerja/buruh untuk
menjadi pengurus atau anggota SP/SB atau SP-TP, atau melarang SP/SB atau SP-TP
melakukan atau tidak menjalankan kegiatannya.
10. Saat
ini, dua RUU baru sedang dibahas di DPR.
Kedua RUU tersebut adalah RUU tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial (RUU PPHI) dan RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan
(PPK). Berbeda dengan UU tahun 1957 dan
1964, penyelesaian perselisihan pada RUU PPHI diatur melalui Pengadilan Perselisihan
Hubungan Industrial, dan melalui mediasi, konsiliasi, serta arbitrase. Berdasarkan
temuan lapangan SMERU, sebagian besar pekerja/buruh, SP/SB, SP-TP, dan
perusahaan tidak menyetujui RUU PPHI. Hanya sedikit dari mereka yang berpendapat
bahwa PPHI akan memperbaiki keadaan saat ini. Selain terlalu tehnis, keberatan
mereka termasuk: kemungkinan besar akan mahal dan memerlukan waktu yang lama
apabila perselisihan diselesaikan melalui pengadilan; menempatkan pengusaha
pada posisi yang kuat karena mereka mempunyai cukup dana; dan memperlemah hak
pekerja/buruh untuk melibatkan SP/SB atau SP-TP sebagai wakilnya. Meskipun
demikian, hanya sedikit pengusaha dan SP/SB atau SP-TP yang mengerti secara
rinci makna dari setiap pasal dalam RUU tersebut.vi Lembaga Penelitian SMERU,
Mei 2002
11. Studi
ini juga mempelajari pandangan pengusaha dan pekerja/buruh berkaitan dengan peraturan
kontroversial tentang uang pesangon.
Peraturan baru tentang biaya pesangon untuk pekerja/buruh diberlakukan
pemerintah pada Juni 2000 (Kepmenaker No. Kep- 150/Men/2000). Peraturan ini
telah mengundang reaksi negatif yang kuat dari para pengusaha. Menanggapi hal tersebut, pemerintah memodifikasi
beberapa pasal dalam peraturan tersebut.
Perubahan ini telah memicu terjadinya konflik dan gejolak para pekerja/buruh
secara massal. Karena adanya reaksi tersebut, pemerintah memberlakukan kembali
Kepmenaker No.150. Pertanyaan tentang perubahan ini memperoleh tanggapan serupa
dari pengusaha di satu pihak, dan pekerja/buruh di pihak lain. Pengusaha
menilai pesangon tidak semestinya diberikan pada kasus mengundurkan diri dan
kasus kriminal, sementara SP/SB atau SP-TP berpendapat bahwa upaya apapun untuk
mengambil keuntungan dari pekerja/buruh merupakan langkah mundur.
12. Meskipun
perusahaan sadar bahwa kondisi ekonomi nasional belum sepenuhnya pulih, kebanyakan
perusahaan tetap berupaya memenuhi hak-hak normatif pekerja/buruh. Mereka memenuhi
upah minimum yang diwajibkan (sekitar 94% perusahaan). Selain upah dalam bentuk tunai, beberapa
perusahaan juga menyediakan balas jasa dalam bentuk lain yang disesuaikan
dengan besarnya perusahaan.
13. Sebagai
akibat pemerintah meratifikasi Konvensi ILO No. 87 Tahun 1948 dan nengundangkan
SP/SB dalam UU No. 21 Tahun 2000, jumlah organisasi pekerja/buruh di Indonesia
tumbuh menjamur. Pada akhir 2001 Federasi SP/SB tingkat nasional tumbuh menjadi
61, satu konfederasi, dan sekitar 144 SP/SB tingkat nasional dengan 11.000
SP-TP yang telah mendaftar beranggotakan sekitar 11 juta pekerja/buruh. Meskipun
demikian dengan memperhatikan jumlah pekerja/buruh di wilayah urban sebanyak 18
juta, kelihatannya jumlah keanggotaan pekerja/buruh dalam SP/SB yang dilaporkan
terlalu berlebihan.
14. Terdapat
dua macam SP/SB yang dapat dibedakan berdasarkan cara pembentukannya. Pertama,
SP/SB yang dibentuk sebagai basis bagi para anggotanya untuk menyampaikan keluhan-keluhan
mereka kepada perusahaan. SP/SB jenis
ini mempunyai misi yang jelas, keanggotaan yang jelas, dan pengelolaan organisasinya
baik. Kedua, SP/SB yang dibentuk sebagai basis politik, anggotanya termasuk non-pekerja/buruh
yang mengklaim bahwa mereka bertindak demi kepentingan pekerja/buruh. Dari
Federasi SP/SB yang diwawancarai hanya Sarbumusi yang mengakui dengan jelas
bahwa mereka terkait dengan organisasi Muslim Nahdratul Ulama setelah mendapat
mandat untuk merekrut tenaga kerja di bawah organisasi tersebut. Secara umum,
pembentukan SP/SB tingkat nasional dimulai dari tingkat nasional tanpa ada
proses seleksi dan tidak dibentuk dari bawah pada tingkat pekerja/buruh di
perusahaan.
15. SP-TP
diyakini memiliki peran yang lebih menonjol dalam rangka standart kerja berkaitan
dengan perbaikan produktivitas dibandingkan dengan SP/SB yang menjadi afiliasi
karena SP-TP lebih dekat dengan tempat kerja.
Meskipun demikian, masih ada perusahaan yang tidak mendukung pembentukan
SP-TP, sebaliknya pekerja/buruh-pun juga tidak selalu mengetahui manfaat adanya
pembentukan SP-TP.
16. Pada
umumnya, pekerja/buruh menunjukkan minatnya membentuk SP-TP setelah mereka
mengalami keresahan perselisihan yang tajam dengan pihak perusahaan. Di wilayah penelitian, hanya sekitar 10%-20%
yang dilaporkan memiliki, hal ini karena SP-TP jarang ditemui pada perusahaan
kecil. Meskipun demikian, dari 47
perusahaan yang diteliti, 39 perusahaan diantaranya telah membentuk SP-TP,
setengahnya dibentuk setelah tahun 1997.
SP-TP yang dibentuk sebelum 1997, (umumnya SPSI) seringkali tidak
memperoleh dukungan dari pihak perusahaan, dan sebagai konsekuensinya acapkali
pekerja/buruh atau pemimpinnya mendapat intimidasi darivii Lembaga Penelitian
SMERU, Mei 2002 pihak perusahaan. Saat ini, masih ada perusahaan yang tidak
mendukung pembentukan SP-TP.
17. Adanya
unjuk rasa dan pemogokan yang banyak terjadi akhir-akhir ini telah membuat perusahaan
trauma dan was-was, terutama yang memiliki SP-SP. Pada saat yang sama, beberapa perusahaan yang
khawatir terkena sanksi apabila mereka melanggar peraturan, maka pihak
perusahaan tidak menghalangi secara terbuka pembentukan SP-TP. Pembentukan
SP-TP cenderung dipicu oleh adanya perselisihan hubungan industrial yang
menonjol dan sulit diselesaikan. Tim SMERU menemukan bahwa SP-TP jarang dibentuk
di perusahaan yang hanya sedikit mengalami perselisihan atau dapat menyelesaikan
perselisihannya secara bipartit. Delapan perusahaan responden memilih untuk
tidak memiliki SP-TP dengan alasan antara lain:
• hingga saat ini perusahaan
telah memenuhi semua hak-hak normatif dan hak-hak non-normatif pekerja;
• hubungan antara perusahaan dan
pekerja sangat baik, terbukti dari pekerja dapat menyampaikan keluh-kesah
mereka secara langsung dan ditanggapi dengan baik oleh perusahaan;
• ada wadah untuk berkomunikasi
antara pengusaha dan pekerja melalui pertemuan rutin atau koperasi; dan
• perusahaan menganggap pekerja
sebagai keluarga atau mitra.
18. Pada
umumnya, banyak perusahaan mengakui manfaat SP-TP setelah terbentuk, terutama
ketika akan melakukan perundingan dengan pekerja. Sebelum SP-TP terbentuk,
biasanya pihak perusahaan yang menyusun peraturan perusahaan mengenai kondisi
kerja dan hal-hal lain yang berkaitan dengan ketenagakerjaan. Pekerja/buruh yang ingin menyusun perjanjian
bersama akan bernegosiasi dengan perwakilan dari divisi kerjanya masing-masing.
Meskipun perusahaan sadar bahwa adanya SP-TP telah menimbulkan
tuntutan-tuntutan baru, namun manfaat positif SP-TP semakin terasa bagi
perusahaan karena SP-TP dapat mempermudah penyelesaian perselisihan di tingkat perusahaan.
Disamping itu SP-TP juga dapat dimanfaatkan untuk melakukan pengawasan terhadap
kedisiplinan pekerja.
19. Ratifikasi
Konvensi ILO No. 87 dan pelaksanaan UU No. 21, 2000 juga memungkinkan untuk
mendirikan banyak SP-TP di dalam sebuah perusahaan. Keberadaan SP-TP lebih dari
satu di dalam sebuah perusahaan ditemukan di beberapa perusahaan. Sejauh ini, kondisi
ini tidak mengakibatkan konflik atau masalah diantara SP-TP tersebut. Meskipun
demikian, pihak perusahaan, SP-TP, dan pekerja/buruh percaya bahwa proses pembentukan
SP/SB atau SP-TP seperti dalam UU No. 21 Tahun 2000 sangat mudah, hanya 10
anggota diperlukan untuk membentuk SP-TP.
Banyak dari mereka cenderung memilih tidak lebih dari satu SP-TP dalam
sebuah perusahaan. Mereka mengusulkan agar
serikat pekerja dibentuk berdasarkan prosentase jumlah total pekerja/buruh di masing-masing
perusahaan. Lainnya mengusulkan bahwa persyaratan jumlah pekerja/buruh untuk
mendirikan serikat pekerja/serikat buruh ditambah, dari 10 anggota menjadi 100
anggota. Tim SMERU mencatat persamaan dalam alasan yang dikemukakan perusahaan,
SP/SB, dan pekerja/buruh mengenai alasan penolakan keberadaan lebih dari satu
SP-TP dalam satu perusahaan. Apabila di
satu perusahaan terdapat lebih dari satu SP/SB, maka akan sulit menentukan
SP/SB yang harus mewakili pekerja/buruh dalam perundingan atau penyelesaian perselisihan
walaupun menurut Kepmenaker Tahun 1985, SP/SB yang memiliki anggota paling
tidak 50% dari seluruh pekerja/buruh akan mewakili pekerja/buruh. Secara umum, banyaknya serikat pekerja seperti
ini membuat lebih sulitnya penentuan wakil pekerja/buruh dalam negosiasiviii
Lembaga Penelitian SMERU, Mei 2002 tripartit nasional yang diwakili 10 SP/SB,
bersama-sama dengan 10 wakil dari unsur organisasi pengusaha, dan unsur
pemerintah.
20. Meskipun
SP/SB dapat dibentuk oleh sekurang-kurangnya 10 orang pekerja/buruh, pada umumnya
perusahaan berskala kecil dan sedang (sekitar 50 pekerja/buruh atau kurang) berpendapat
bahwa pekerjanya belum memerlukan SP-TP. Pengusaha dan pekerja/buruh percaya
bahwa mereka tidak memerlukan SP-TP karena selama ini mereka telah dapat
menyelesaikan perselisihan antar mereka dengan baik. Pekerja setiap saat
dapat menyampaikan masalahnya langsung
kepada pengawas atau pimpinan.
21. 21.
Menurut data Depnaker 1997, 6,6% perusahaan memiliki KKB. Pada tahun yang sama,
sekitar 78% SP-TP mendaftarkan diri ke Depnaker telah memiliki KKB. Peraturan Perusahaan (PP) adalah alternatif
yang sah dari KKB/PKB bagi perusahaan yang tidak memiliki SP-TP. Sekitar 30% dari perusahaan sampel mempunyai
PP, 58% PKB/KKB, dan 12% mempunyai PP atau PKB/KKB (terdiri dari 3 perusahaan
besar dan 3 perusahaan sedang).
22. Pasal-pasal
yang diatur dalam PKB pada umumnya seragam di semua wilayah penelitian.
Pasal-pasal tersebut termasuk ketentuan umum, pengakuan dan fasilitas bagi SP,
hubungan kerja, waktu kerja, pengupahan, keselamatan dan kesejahteraan kerja,
cuti-ijin tidak bekerja dan hari libur, peraturan tata tertib, sanksi-sanksi terhadap
pelanggaran, PHK, dan penyelesaian keluh-kesah.
23. Informasi
lapangan menunjukkan bahwa secara umum proses pembuatan KKB/PKB melibatkan
pekerja/buruh yang diwakili oleh SP-TP dan perusahaan. Namun demikian dalam
jumlah kecil ada kasus dimana PKB dibuat oleh perusahaan dan SPTP hanya membaca
dan harus menyetujuinya. Beberapa perusahaan juga menggunakan kuasa hukum yang
bukan pegawai perusahaan. Sementara itu,
pihak pekerja/buruh diwakili oleh pengurus SP-TP, dan kadang-kadang koordinator
diikutsertakan dalam proses perundingan.
24. 24.
Walaupun kesepakatan kerja bersama disusun berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak,
pengusaha dan pekerja/buruh, perselisihan tetap dapat terjadi. Seringkali kasus perselisihan terjadi justru
mengenai masalah-masalah di luar hal-hal yang telah menjadi kesepakatan
bersama. Misalnya, seperti yang baru-baru ini terjadi pada pelaksanaan kenaikan
upah minimum dan tuntutan kenaikan upah, uang transpor, uang makan, uang susu,
sebagai akibat kenaikan BBM. Oleh karena
itu, diperlukan petunjuk untuk menampung negosiasi hal-hal yang tidak tercantum
dalam kesepakatan kerjs bersama, atau klausul khusus dimasukkan dalam kesepakatan
tersebut, untuk mencegah perselisihan industrial.
25. Dari
kasus-kasus perselisihan industrial dan pemogokan kerja di tingkat perusahaan, penyebab
utama yang sering ditemui di banyak perusahaan dapat dikelompokkan dalam empat
kategori: (i) tuntutan non-normatif,
yaitu yang berhubungan dengan hal-hal yang tidak diatur dalam peraturan perundangan
dan PKB/KKB; (ii) tuntutan normatif, yaitu tuntutan terhadap hak-hak yang telah
diatur dalam peraturan perundangan dan hak-hak yang telah telah disepakati
dalam PKB/KKB atau PP; (iii) keterlibatan pihak ketiga, seperti pekerja/buruh dari
perusahaan lain atau SP/SB Afiliasi lain) yang memprovokasi pekerja/buruh
sehingga terjadi perselisihan; dan (iv) tekanan dari beberapa pekerja di dalam
perusahaan yang memaksa pekerja lain agar ikut berunjuk rasa.Lembaga Penelitian
SMERU, Mei 2002 ix
Faktor penyebab perselisihan
industrial lainnya, antara lain:
• solidaritas terhadap sesama
pekerja yang dinilai telah diperlakukan secara kurang adil oleh perusahaan;
• perbedaan persepsi tentang
perundangan dan peraturan pemerintah;
• menuntut kepala personalia
yang dinilai bersikap keras terhadap pekerja/buruh dan berpihak pada perusahaan
agar mundur;
• perubahan manajemen perusahaan
yang dinilai tidak memperhatikan kepentingan dan kesejahteraan pekerja;
• menuntut adanya transparansi
perusahaan (terutama berkaitan dengan keuntungan perusahaan yang mungkin dapat
menjadi bagian pekerja/buruh dalam bentuk upah yang lebih tinggi atau
peningkatan kesejahteraan);
• pelaksanaan peraturan uang
pesangon; perusahaan dianggap tidak terbuka tentang keuntungan perusahaan;
• kecurigaan mengenai adanya
penyalahgunaan dana Jamsostek;
• ketidaksabaran pekerja dalam
menunggu hasil perundingan; atau
• tuntutan-tuntutan baru lainnya
yang muncul seiring dengan meningkatnya pengetahuan pekerja tentang hak-hak
mereka setelah SP-TP terbentuk di tempat kerja mereka.
26. Meskipun
demikian, penelitian ini memunjukkan bahwa sistem hubungan industrial di tingkat
perusahaan berfungsi luar biasa mulus.
Berdasarkan empat kategori perselisihan 1Tim SMERU mencatat bahwa dalam
kurun waktu lima tahun terakhir, hanya 3 (6%) perusahaan dari 47 perusahaan
yang mengalami perselisihan sangat berat, 21% perusahaan mengalami perselisihan
berat, 30% perusahaan mengalami perselisihan sedang, sebanyak 26% perusahaan
mengalami perselisihan ringan. Delapan dari
perusahaan sampel, menurut pengusaha maupun pekerja/buruhnya atau SP-TP, tidak
pernah mengalami perselisihan kecuali menerima keluh-kesah dan menghadapi kasus
perselisihan perseorangan.
Empat kategori perselisihan
hubungan industrial adalah:
(a) perselisihan ringan:
perselisihan tanpa mogok kerja dan dapat diselesaikan secara bipartit;
(b) perselisihan sedang:
perselisihan yang disertai mogok kerja dan dapat diselesaikan secara bipartit;
(c) perselisihan berat:
perselisihan industrial tanpa mogok kerja dan diselesaikan di tingkat
tripartit; dan (d) perselisihan sangat berat, yaitu perselisihan industrial
disertai mogok kerja dan belum atau dapat diselesaikan di tingkat tripartit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar