Kamis, 23 Januari 2014

Hubungan Industrial Era Baru Paradigma Lampau



HUBUNGAN INDUSTRIAL ERA BARU PARADIGMA LAMPAU
Olen : Subiyanto Pudin,S.Sos. (*)
Hubungan Industrial adalah sistem hubungan antara para pelaku produksi barang dan jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah. Di Indonesia idealnya sebagai negara yang menganut azas negara Pancasila dan UUD 1945. yang sudah menjadikan nilai-nilai tersebut sebagai konsensus nasional sebagai dasar berbangsa dan bernegara yang mestinya nilai –nilai tersebut dapat kita rasakan dan dilaksanakan secara nyata bukan hanya sekedar lipstick belaka dalam proses pergaulan dan pelaksanaan hubungan industrial.
Sistem hubungan industrial adalah suatu formulasi dan strategi untuk mensinergikan kekuatan para pelaku agar dapat tercapai produksi barang dan jasa secara optimal sekaligus mengatur benturan kepentingan antara pelaku-pelaku dalam hubungan industrial tersebut.
Hubungan antara pengusaha dan pekerja/buruh adalah pola hubungan yang paradoks,satu sisi pengusaha dan pekerja/buruh dalam proses mempunyai kepentingan dan tujuan yang sama agar menghasilkan barang/jasa secara optimal, namun dalam sisi yang lain dalam hal pembagian hasil pencapaian proses dan distribusi kemakmuran kedua pihak terjebak dalam sifat manusia sebagai “homo homoni lupus”. Cenderung egois, menjadi manusia “serigala” pemangsa manusia yang lain.
Pertanyaannya adalah, Mengapa sistem hubungan industrial di Indonesia dalam era reformasi ini tidak segera mengurai kompleksitas masalah ketenagakerjaan yang sekian lama belum dapat diperbaiki, bahkan masalah ketenagakerjajan semakin hari semakin carut marut dengan kompleksitas problematik yang mepengaruhinya ? Dugaan awalnya bahwa dalam sistem HIP “Hubungan Industrial Pancasila” tempo dulu dimasa Rezim orde baru berkuasa, kekuatan sistem itu dilakasanakan dan dipertahankan dengan Hyper kekuasaan yang memangsa komponen sistem yang lemah (pekerja/buruh). Pada saat itu Sikap kritis gerakan protes dari pekerja/buruh diberangus oleh penguasa yang dianggap ganguan dari sistem itu sendiri, Sistem ini beroperasi layaknya predator dalam rimbah, Karateristik sistem HIP yang otoriter itu masih mengakar kuat dalam tataran praktis sampai saat ini, terasa banyak sekali campur tangan yang diluar sistem yang ingin mendapatkan pembagian kue dengan dalih“kekuasaan” dengan konsep KKN nya.
Pada era itu kompleksitas dan dinamika permasalahan ketenegakerjaan yang terjadi tidak ditanggapi dengan dialog melainkan dengan intimidasi dan terror terhadap pekerja/buruh. contoh terakhir terjadinya kasus pembunuhan terhadap aktifis SPSI di jawa timur Sdri.(Alm) Marsinah., Dari luar sistem ini tampak stabil tapi fakta menunjukan setelah sekian puluh tahun bertahan, sistem ini akhirnya jebol juga seiring momentum perlawanan rakyat terhadap sistem kekuasaan negara yang dilaksanakan secara otoriter dalam segala dimensi kehidupan.
Dirubah menjadi HII ” Hubungan Industrial Indonesia”di era reformasi yang menuntut katerbukaan, keadilan dan kemitraan. Telah sekian lama berjalan sejak tahun 1998 sampei sekarang masih belum kita rasakan perubahan yang signifikan karena kita belum dapat merubah paradigma itu “ Paradigma Lampau”. Perubahan yang dialukakan baru sebatas kulit ari belum menyentuh isi yang terkandung didalamnya.
Dalam sistem HII di era reformasi, Hubungan antara pelaku mestinya dibangun diatas landasan keterbukaan, Keadilan (fairness) dan kemauan untuk berbagi baik dalam beban dan tantangan maupun berbagi dalam hal hasil pencapaian produksi dan distribusi kemakmuran. Dalam sistem ini protes/kritik dari buruh adalah bagian dari sistem yang harus dilihat sebagai dinamika komunikasi untuk mengelola kompleksitas masalah tenagakerjaan yang super kompleks idealnya dalam pelaksanaan HII jadikanlah lawan bicara sebagai teman berfikir untuk mencari solusi terbaik yang WIN WIN SOLUTION.
Di era globalisasi ini pasar dan akses informasi yang tanpa batas, paradigma hubungan pengusaha dengan pekerja/buruh harus segera berubah.Dalam proses,kedua pihak harus bersinergi agar mampu melewati dan melampaui tantangan global,demikian juga dalam pembagian hasil pencapaian atau distribusi kemakmuran,pengusaha harus legowo untuk berbagi.
Bila kedua belah pihak menyadari dan mempunyai kemauan hubungan yang dibangun atas prinsip kemitraan. Hal ini sangat relevan karena keduanya saling membutuhkan.
Substansi dari sebuah Kemitraan adalah pihak yang sekian lama menikmati kemakmuran (Korporasi) ada kemauan baik (Good Will) berbagi untuk mengangkat derajat mitranya (Pekerja) yang terjerembab dalam sistem yang memiskinkan mereka, karena hakikatnya kemakmuran yang diraih dan dinikamti korporasi selama ini merupakan hasil dari perjuangan bersama.Bukan sebaliknya, pihak yang telah makmur berdiam dimenara gading kemakmuran dengan berpura-pura tidak melihat dan mendengar jeritan mitranya yang tersengal-sengal bernafas dalam lumpur kemiskinan akibat pelaksanaan Upah Minimum yang dijadikan sebagai Upah Maksimum oleh Pengusaha yang bermental “Pedagang”dengan paradigma lampau (Kuno).
Pola interaksi dan sejarah orientasi berpikir pekerja hakekatnya tidak dapat dipisahkan dari kondisi politik dan ekonomi pada waktu peristiwa itu terjadi, namun kesadaran perlu adanya hubungan industrial yang sehat mulai muncul ketika masa Revolusi Industri di Inggris. Sedangkan di Indonesia mulai gencar di dengungkan ketika masa orde baru. Hubungan Industrial dimaksudkan untuk mengarahkan pada pola hubungan industrial yang sehat, dinamis dan berkeadilan.
Revolusi Industri dianggap mengurangi banyak peran manusia (tenaga kerja) dalam berbagai industri, peran manusia dimaksud digantikan oleh tenaga mesin. Revolusi Industri mengakibatkan bertambahnya angka pengangguran dan biaya tenaga kerja sangat murah. Yang paling marah adalah banyaknya pelanggaran HAM. Kemudian pada tahun 1919 mendorong lahirnya ILO (Intenational Labour Organisation), pada awalnya menitik beratkan ke dalam masalah perlindungan tenaga kerja secara fisik. ILO sangat memperhatikan masalah jam kerja yang tidak menentu, serta perlakuan para pemilik perusahaan terhadap para pekerja yang berada di luar batas kemanusiaan.
Tujuan pendirian ILO adalah untuk menegakan masalah Hak Azasi Manusia (HAM). Hak-hak paling penting adalah masalah kebebasan berserikat (freedom of assosiation). Peran ILO dimaksud memiliki hubungan langsung dengan fungsi PBB, karena ILO instrument penting dari PBB, bertujuan untuk mempertahankan dan meningkatkan kebebasan manusia, khususnya kemerdekaan sipil (Civil liberties). Wujud dari maksud tersebut dapat ditenggarai dari unsur-unsur yang dimuat dalam Konvensi ILO, tertutama di dalam penetapan tujuan ; standard internasional yang perlu diterapkan di bidang ketenagakerjaan ; serta program-program yang dilaksanakan oleh International Labour Office (Instrumen dalam ILO).
Kebebasan berserikat merupakan prasyarat penting bagi tumbuhnya demokrasi yang sehat. Spirit kebebasan yang diatur di dalam Konvensi ILO banyak mendorong tumbuhnya organisasi pekerja, organisasi masa dan organisasi lainnya yang terkait dengan kemerdekaan sipil (Civil libertias). Konvensi ILO memberikan ruang yang luas kepada masalah kebebasan berserikat dan Perlindungan Hak Berorganisasi, sebagaimana yang diatur didalam Pasal 2 Konvensi ILO No. 87, kebebasan tersebut bukan hanya milik pekerja, melainkan juga diberikan kepada pengusaha.
Pasal dimaksud menyatakan, Bahwa : “Pekerja dan Pengusaha, tanpa perbedaan (distiction) apapun mempunyai hak untuk membentuk dan, tunduk pada ketentuan-ketentuan dari organisasi yang bersangkutan, untuk ikut organisasi pilihan mereka sendiri tanpa ijin (authorisation) lebih dahulu”. Pengecualian diatur didalam pasal 9, yakni bagi Angkatan Bersenjata dan Polisi boleh ditentukan oleh hukum atau peraturan nasionalnya.
Didalam pasal 2 diatas, disebut-sebut mengenai organisasi pengusaha. Dimaksudkan bukan harus mendirikan SP/SB, apalagi pendirian tersebut untuk tujuan mendinamiosasi SP/SB. Organisasi yang dimaksud adalah suatu organisasi yang dibentuk oleh para pengusaha sendiri. Di Indonesia yang sering disebutkan sebagai Organisasi Pengusaha adalah Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), menginduk kedalam International Employers Organisation (IEO).
Orientasi SP/SB
Dalam paradigma hubungan politik ekonomi ada yang mengaitkan masalah reformasi di Eropa pada abad yang lalu dengan ketenagakerjaan. Jalan reformasi pada saat itu dianggap hasil dialektika dari tarik menarik kepentingan dibidang ketenagakerjaan dan pemodal. Reformasi adalah suatu thesa dari kehendak para pemilik perusahaan untuk menyelamatkan kepentingannya, berhadapan dengan antithesa dalam bentuk kehendak pekerja untuk merebut kekuasaan dan pengaturan masalah sosial ekonomi. Sampai saat ini masih nampak adanya dialektika tersebut, sehingga membentuk orientasi tersendiri. Hal ini mendorong perlunya hubungan industrial yang sehat, dinamis dan berkeadilan.
Sejarah terbentuknya orientasi berpikir diatas tentu agak berbeda dengan orientasi pekerja di BUMN. Sejarah orientasi pekerja di BUMN lebih banyak dipengaruhi oleh kesadaran tentang adanya misi dari BUMN tersebut. Di Indonesia, BUMN dimasa lalu diarahkan untuk berperan sebagai stabilisator perekonomian dan agent development. Hanya memang ada kewajiban yang sangat penting, yakni harus mendapatkan keuntungan untuk membiayai usahanya.
Orientasi didalam kamus bahasa Indonesia berarti peninjauan untuk menentukan sikap (arah, tempat, dsb) yang tepat dan benar ; atau pandangan yg mendasari pikiran, perhatian atau kecenderungan. Orientasi SP/SB dapat diartikan sebagai cara untuk menentukan sikap (arah) yang tepat dan benar atau pandangan yang mendasari pikiran SP/SB. Orientasi SP tertuju kepada kesejahteraan pekerja yang lebih baik, seperti pada idiom : kehidupan hari ini harus lebih baik dari hari kemarin, dan kehidupan hari nanti harus lebih baik dari hari ini. Untuk alasan kesejahteraan, tidak jarang membawa SP/SB dan para aktifis pekerja melibatkan diri didalam proses perubahan sistim politik – ekonomi negara dan kebijakan perusahaan.
Orientasi SP/SB di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari prinsip-prinsipnya yang dimuat di dalam UU tentang SP/SB dan ketenagakerjaan lainnya. Saat ini dituangkan di dalam UU No.21/2000 tentang Serikat Pekerja ; UU No.13/2003 tentang Ketenaga Kerjaan ; dan UU No.2/2004 tentang Perselisishan Hubungan Industrial. Orientasi SP/SB menitik beratkan ke dalam suatu nilai yang hakiki dari kesejahteraan pekerja dan keluarganya ; menjamin kelangsungan perusahaan ; dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia pada umumnya. Di dalam perjalanannya, orientasi SP/SB sangat dipengaruhi oleh skala prioritas masalah yang harus diselesaikan. Biasanya ditenggarai dari penetapan prioritas yang menyangkut kesejahteraan dengan kinerja perusahaan dalam Program Kerja SP/SB
Kebijakan Perusahaan (Mikro).
Upaya untuk memenuhi kesejahteraan yang paling sensitif menyangkut masalah pengupahan, yakni upah minimum dan upah kerja lainnya. Masalah upah minimum sering terjadi kesalahan menafsirkan. Upah minimum dianggap tingkat pengupahan. Jika perusahaan telah membayar sebesar upah minimum, tanpa mempertimbangkan tingkat, masa kerja dan lain sebagainya, maka sudah menganggap memenuhi ketentuan. Padahal pengertian upah minimum adalah upah terendah bagi pekerja tingkat bawah, dalam masa kerja kurang dari satu tahun. Sehingga pekerja yang memiliki tingkat yang lebih tinggi dan telah bekerja lebih dari satu tahun maka perlu menerima upah yang lebih besar dari upah minimum.
Masalah yang sering timbul, seperti tunjangan, kenaikan upah, struktur upah, dan skala upah sering menjadi penyebab terganggunya hubungan industrial. Berdasarkan penelitian pada tahun 2003, sekitar 80% kasus hubungan kerja dan hubungan industrial disebabkan masalah tersebut. Persoalan yang mungkin timbul dikelak kemudian hari terkait dengan fasilitas bagi pekerja yang sudah mulai di rationalisasikan oleh sistim keuangan perusahaan, sebagaimana diatur didalam PSAK. Penundukan sistim keuangan ini memberikan warna baru bagi pemberian remunerasi dan cenderung dianggap pekerja memangkas kesejahteraannya.
Masalah kesejahteraan pekerja idealnya sangat ditentukan oleh tingkat kinerja perusahaan, semakin besar keuntungan suatu perusahaan maka semakin baik pula kesejahteraan pekerja. Sehingga ada korelasi antara kesejahteraan dengan kinerja perusahaan. Persoalan akan muncul ketika peningkatan laba perusahaan dilepaskan dari perlunya meningkatkan kesejahteraan pekerja. Biasanya karena tergantung pada aturan perusahaan atau kebijakan pemilik perusahaan. Dalam peristiwa demikian diniscayakan hubungan industrial akan terganggu.
Kebijakan Politik Ekonomi (Makro)
Masalah sistim politik - ekonomi negara akan sangat mempengaruhi kondisi dunia usaha dan tingkat kemakmuran umum, termasuk kemakmuran para pekerja. Kebijakan politik ekonomi adakalanya dianggap penyebab berkurangnya tingkat kesejahteraan yang seharusnya diperoleh pekerja. Para aktifis pekerja umumnya beranggapan bahwa masalah tersebut merupakan koridor SP, karena berpengaruh langsung terhadap kesejahtraan pekerja.
Di Inggris misalnya, organisasi pekerja (partai buruh) menjadi bidan penting bagi munculnya liberalisasi ekonomi. Di belahan barat lainnya kaum pekerja menentang globalisasi dan neo liberal yang dianggap bidan kapitalisme baru. Penentangan dimaksud terkait pula dengan munculnya semangat anti pasar bebas, yang tidak kondusif bagi proteksi negara terhadap warganya yang tidak mampu bersaing dengan kekuatan modal besar.
Liberalisasi ekonomi dan privatisasi pernah membuktikan kejayaannya, terutama ketika Inggris mampu membangun terowongan bawah laut yang menghubungkan dengan perancis tanpa biaya pemerintah. Semangat ini merebak ke belahan Perancis dan Amerika. Sehingga ada yang menyebut dengan istilah “Kapitalisme Anglo Saxon”.
Perusahaan-perusahaan yang diprivatisasi dianggap mampu mendinamisasikan pertumbuhan usaha dan dapat memenuhi kesejahteraan pegawai secara maksimal. Sejak saat itu muncul orientasi baru, bahwa nasionalisme kaum pekerja adalah kesejahteraan. Dalam konsep ini tidak ada lagi pertimbangan, apakah perusahaan itu milik negara atau milik pengusaha, karena yang penting adalah : “siapa yang bisa memberikan kesejahteraan yang lebih baik”. Sedangkan pendapatan negara berasal pajak-pajak perusahaan. Makin tinggi keuntungan perusahaan makin besar pajak yang diterima negara, bahkan negara dianggap tidak perlu harus bersusah payah mengurus BUMN, negara cukup mengatur regulasi yang dapat menciptakan iklim usaha yang sehat.
Liberalisasi dan Privatisasi memiliki konsekuensi, yaitu berkurangnya peran negara terhadap permasalahan warganya, lebih cenderung mendorong munculnya hak-hak individu dibandingkan hak-hak kolektif. Negara tidak dapat memihak salah satu pihak (pemilik modal atau para pekerja) untuk alasan apapun, harus memperlakukan sama, tidak ada proteksi atau subsidi kepada siapapun, termasuk kepada warganya yang lemah. Semangat ini sama dengan yang dimaksudkan didalam Konvensi ILO No. 87. Negara hanya sebagai wasit dan pembuat kebijakan. Dia memiliki kontrol dari perundang-undangannya, apakah ada pelanggaran atau tidak. Kekuatan dan kelemahan suatu pihak tergantung dari kemampuan melakukan survival, di sini terjadi hukum besi ”free fight competition”. Pada tahap ini timbul perdebatan mengenai dampak positif dan negatifnya.
Pihak yang menganggap berdampak positif lebih melihat kepada hasilnya yang mendorong timbulnya spirit fichting para pekerja dan perusahaan. Sedangkan dari sisi negatif menafsirkan bahwa sistim ini lahan subur Kapitalisme, hanya menguntungkan pihak pengusaha – pemilik modal besar, karena dianggap memiliki sumber daya yang lebih kuat. Perdebatan demikian merupakan hal yang paling klasik.
Sebelumnya pernah memicu munculnya perang dingin antara Ideologi Komunis (timur) dan negara sosialais lainnya dengan Kapitalisme (barat). Ketika perang dingin berakhir masalah berubah menjadi urusan utara (negara kaya) dengan selatan (negara miskin). Sehingga dalam orientasi berpikir kaum sosialis beranggapan bahwa urusan dunia ini hanya dominasi dari masalah ekonomi, seperti kaya – miskin, tertindas – penindas, buruh – pemilik modal.
Paradigma di atas menjadi sangat menakutkan ketika masalah ketenagakerjaan direduksi pada kontradiksi-kontradiksi sosial dan ekonomi yang tak kunjung menemukan jalan keluarnya. Di sisi lain para pemodal barat sangat asyik dengan laju pertumbuhan ekonomi, tanpa memperhatikan proses pemerataan dan keadilan di negara ketiga.
Paradigma tersebut pernah terpatahkan ketika Anthony Giddens merumuskan buku tentang “The Third Way”. Anthony Giddens memberikan thesa bahwa urusan dunia bukan hanya seperti apa yang ada di dalam paradigma kaum sosialis, melainkan tersegmentasi menjadi masalah buruh, lingkungan hidup, gender, HAM dan persoalan lainnya. Namun apapun masalah dan teorinya, praktek sistim ekonomi sekarang dianggap gagal dan meninggalkan bom waktu munculnya krisis global yang penuh ketidakpastian. Bagi pekerja menyisakan masalah berkurangnya lowongan kerja dan menambah pengangguran akibat PHK.
Dialektika dari masalah ketenagakerjaan di atas menunjukan bahwa di dalam persoalan yang lebih luas terdapat korelasi antara orientasi ketenaga kerjaan dengan kebijakan politik ekonomi, sedangkan didalam suatu perusahaan akan dipengaruhi oleh kebijakan ketenaga kerjaan dan keputusan perusahaan (bisnis dan ketenaga kerjaan). Dialektika tersebut mengubah-ubah orientasi berpikir segenap insan yang merasa perlu terlibat di dalamnya. Namun orientasi menjadi rumit ketika muncul kontradiksi yang menciptakan disintegrasi terhadap hubungan industrial.
Di sini perlu ada kesadaran para pihak, yakni pengusaha, pekerja dan negara untuk menciptakan hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan. Orientasi terhadap pola hubungan industrial yang sehat akan menciptakan pertumbuhan usaha, kesejahteraan pekerja dan memenuhi kepentingan negara. Pola orientasi demikian merupakan sinergi penting bagi peningkatan kualitas hidup dan penghargaan terhadap martabat kemanusiaan.
Orientasi SP BNI
Orientasi SP BNI saat ini tidak dapat dilepaskan dari sejarah perlunya mempertahankan BNI dan memperjuangkan kesejahteraan anggotanya. Dalam hal kesejahteraan anggota sangat terkait erat dengan perlunya menjamin hak-hak anggota. Orientasi ini diaktualisasikan melalui berbagai kegiatan. Biasanya ikut dipertimbangkan tingkat prioritas masalah yang perlu segera diselesaikan dan cara-cara menyelesaikan masalah tersebut.
Hakekat dari menjaga keberadaan BNI berkaitan erat dengan masalah kesejahteraan. Mempertahankan BNI sebagai asset bangsa adalah suatu orientasi yang menitikberatkan ke dalam suatu nilai yang hakiki dari kesejahteraan pekerja. Lebih jauh menyangkut kesejahteraan anggota dan keluarganya ; menjamin kelangsungan perusahaan ; dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia pada umumnya. Orientasi demikian merupakan suatu hal yang riil dan rational, bahkan dibenarkan di dalam spirit yang terkandung didalam UU. No.21/200, tentang SP/SB.
Orientasi berpikir SP BNI tentang kesejahteraan, mampu mengantarkan kedalam proses kesadaran untuk meningkatkan kinerja perusahaan, suatu bentuk lain dari eufimisme mempertahankan keberadaan BNI. Kesadaran demikian sangat jelas tertera didalam visi dan misi program kerja 2006 – 2008 dan 2008 – 2010. SP BNI menitik beratkan pencapaian kesejahteraan melalui peningkatan kinerja perusahaan. Lebih lanjut di rumuskan menjadi program kerja organisasi. Kesadaran ini mengantarkan pula kedalam satu langkah mencapai tujuan kesejahteraan, yakni Industrial Peace. Jika industrial peace tercapai maka timbul ketenangan kerja (bagi pekerja) dan ketengan berusaha bagi perusahaan (asp).


R I N  G  K  A S  A  N   E  K  S  E  K U  T I F
1.      Penelitian kualitatif ini dilakukan oleh Lembaga Penelitian SMERU untuk Bappenas dengan dukungan dari PEG-USAID. Tujuan utama adalah untuk mengetahui pandangan pengusaha dan pekerja/buruh terhadap RUU yang sedang dibahas dan praktek hubungan  industrial di Indonesia selama masa transisi.  Penelitian lapangan dilakukan selama kurun waktu Oktober - Nopember 2001 di wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi (Jabotabek), Bandung, dan Surabaya.   Informasi diperoleh dari para manager HRD dan pemilik 47 perusahaan (umumnya perusahaan besar), pengurus dari 42 Serikat Pekerja Tingkat Perusahaan (SP-TP), pekerja/buruh, pengurus dari Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) di tingkat kabupaten/kota, kepala atau staf kantor tenaga kerja di tingkat propinsi dan tingkat kabupaten/kota, dan asosiasi pengusaha.  Informasi juga digali dari data sekunder, termasuk UU dan peraturan, dan sumber lain seperti media massa.   Studi menekankan pada keberadaan dan lingkup kerja SP/SB dan SP-TP, adanya perselisihan yang terjadi antara pengusaha dan pekerja/buruh, dan proses penyelesaian perselisihan yang digunakan oleh perusahaan ini, terutama penyelesaian di tingkat perusahaan.
2.      Saat ini sistem hubungan industrial di Indonesia sedang dalam proses transisi, yaitu dari sistem yang sangat terpusat dan dikendalikan penuh oleh pemerintah pusat ke sistem yang lebih terdesentralisasi dimana perusahaan dan pekerja/buruh berunding bersama mengenai persyaratan dan kondisi pekerjaan di tingkat perusahaan. Meskipun demikian, banyak komponen dalam sistem hubungan industrial yang masih dipengaruhi oleh praktek pemerintah pusat di masa lalu yang paternalistik. Transisi ini sejalan dengan perubahan dalam konteks sosial dan politik yang lebih luas dimana rakyat Indonesia sedang mengubah dirinya dari masyarakat yang dikawal ketat oleh regim yang otoriter menjadi masyarakat yang lebih demokratis.
3.      Di satu pihak, tuntutan pekerja/buruh untuk memperjuangkan perbaikan kesejahteraan, seperti kenaikan upah dan kondisi kerja yang lebih baik, dapat dipandang sebagai tuntutan yang dapat difahami. Namun, dalam hal ini, kebijakan dan peraturan perundangan pemerintah yang mempengaruhi kehidupan ekonomi pekerja/buruh juga ikut memberikan kontribusi terhadap timbulnya sejumlah aksi-aksi pemogokan dan demonstrasi pekerja/buruh. Pemogokan dan demonstrasi pekerja/buruh cenderung meningkat sejak pertengahan tahun 2001. Di lain pihak, pemulihan ekonomi akibat krisis ekonomi yang berjalan lambat, ditambah dengan adanya gejala resesi global yang cenderung menurunkan laju pertumbuhan ekonomi dan tingkat penyerapan tenaga kerja yang terkait dengan tingkat pertumbuhan ekonomi merupakan suatu dilema tersendiri bagi pengusaha dalam menghadapi tuntutan para pekerja/buruhnya. Banyak pengusaha melaporkan bahwa kebijakan pemerintah menaikkan upah minimum nominal sebesar 30-40% pada  tahun 2001 telah memberatkan pengusaha.
4.      Di luar isu-isu yang berkaitan dengan upah, temuan penelitian SMERU menunjukkan bahwa aspek-aspek hubungan industrial telah berfungsi lebih mulus ketimbang yang mungkin diharapkan di tingkat perusahaan.  Kebanyakan pihak pengusaha, terlepas dari beban "terlalu diatur", telah mentaati peraturan dan kesepakatan yang baru. Hal ini sebagian disebabkan karena mereka mengikuti proses negosiasi tripartit.  Kesepakatan bersama di tingkat perusahaan telah mulai memainkan peranan yang lebih penting dalam menentukan kondisi pekerja di banyak perusahaan di mana serikat pekerja baru didirikan dari tahun 1997 sebagai bagian dari proses reformasi.Lembaga Penelitian SMERU, Mei 2002 iv Kebanyakan perselisihan dapat diselesaikan melalui dialog bipartit. Hanya beberapa kasus yang diselesaikan melalui dialog tripartit, termasuk diteruskan ke Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah dan Pusat (P4D dan P4P). Baik pekerja/buruh (atau SP/SB) dan pihak pengusaha mengakui ada sedikit indikasi ketegangan dalam hubungan pengusaha-pekerja/buruh. Akan tetapi, kedua belah pihak mengakui bahwa mereka masih dalam proses belajar: pekerja/buruh belajar untuk menggunakan kebebasan untuk mengatur, menyatakan kebutuhan-kebutuhan mereka, dan menemukan metode negosiasi yang lebih baik, sementara pengusaha sedang belajar untuk menghargai pekerja/buruh sebagai mitra kerja. Baik federasi SP/SB dan asosiasi pengusaha menyarankan anggotanya agar menyelesaikan perselisihan industrial melalui dialog bipartit. Negosiasi tripartit dan pilihan lainnya yang mengangkat masalah ke tingkat yang lebih tinggi dianggap  membutuhkan biaya lebih besar dan memakan waktu lebih lama, dan hasilnya belum tentu memuaskan kedua belah pihak.
5.      Hal yang penting diperhatikan adalah bahwa semua peraturan di waktu yang akan datang yang disusun oleh pemerintah mempertimbangkan dengan hati-hati dalam menciptakan keseimbangan antara hak-hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha agar protes-protes dan unjuk rasa pekerja dapat dihindari. Lebih lanjut, melihat adanya berbagai opini dan pemahaman mengenai peraturan yang saat ini berlaku dan yang sedang diajukan, maka pemerintah perlu memberikan pengarahan, pelatihan dan sosialisasi mengenai peraturan atau undang-undang yang baru. Gerakan serikat pekerja/serikat buruh yang lebih kuat berarti pemerintah tidak perlu lagi memainkan peran utama dalam perselisihan hubungan industri, tetapi lebih berperan sebagai fasilitator dan regulator yang adil.
6.      Efektivitas dan profesionalisme suatu SP/SB tergantung pada tingkat kemampuan mereka dalam mengorganisasikan dan merekrut anggotanya, tingkat pemahaman mereka atas peran mereka, fungsi dan peraturan yang ada, maupun seberapa baik mereka dapat mengkomunikasikan kebutuhan para pekerja, kemampuan bernegosiasi dan menyelesaikan perselisihan.  Hal ini menunjukkan bahwa kepemimpinan pada tingkat kabupaten dan kota memiliki peran mempengaruhi efektivitas dari SP/SB.  SP/SB di tingkat kabupaten dan kota umumnya siap membela dan mendukung SP-TP dan para pekerja/buruh dalam berbagai situasi yang membutuhkan penyelesaian perselisihan. SP/SB juga merupakan sarana yang efektif untuk meminimalkan gejolak dalam skala yang lebih besar, karena mereka cenderung memprioritaskan negosiasi di tingkat perusahaan dan hanya menggunakan pemogokan sebagai pilihan terakhir. Akan tetapi, umumnya peran serikat pekerja/serikat buruh di tingkat perusahaan dianggap lebihpenting ketimbang SP/SB di tingkat kabupaten/kota karena mereka memiliki hubungan langsung, baik dengan pekerja/buruh maupun pengusaha, serta memiliki pemahaman yang jauh lebih baik atas tantangan-tantangan yang dihadapi keduanya.
7.      Beberapa instansi pemerintah sedang melakukan upaya serius agar sistem berjalan dengan baik dimana situasi yang terjadi saat ini sangat berbeda, baik dalam lingkungan kelembagaan, politik, dan ekonomi, dari pemerintahan Soeharto. Meskipun demikian peraturan yang ada atau yang sedang dirancang dan diusulkan seringkali mengecilkan kreativitas yang sistem hubungan industrial yang lebih produktif.  Di Indonesia, gerakan serikat pekerja/serikat buruh yang lebih kuat berarti pemerintah tidak perlu lagi memainkan peran utama dalam perselisihan hubungan industri, akan tetapi pemerintah akan lebih berperan sebagai fasilitator dan regulator yang adil. Namun hal ini akan berakibat pada berkurangnya pengaruh dan insentif bagi pejabat pemerintah. Dalam sistem hubungan industrial yang lebih terbuka dan terdesentralisasi yang menekankan pada dialog di tingkat perusahaan, dibutuhkan mekanisme penyelesaian perselisihan industrial yang jelas, setara dan fungsional agar sistem tersebut dapat diandalkan oleh semua pihak yang terlibat.  Sekali lagi, ditekankan perlunya agar pemerintah menyusunv Lembaga Penelitian SMERU, Mei 2002 peraturan perundangan yang tidak saja memberikan kesetaraan dalam hak dan kewajiban bagi semua pihak, tetapi juga agar pemerintah menyusun peraturan perundangan yang memberikan kepastian bagi hubungan industrial. Lebih lanjut, untuk menghindari kesalahpahaman dan informasi yang salah mengenai peraturan perundangan tersebut, di masa yang akan datang sangatlah penting bahwa pemerintah memberikan pedoman dalam memahami dan melaksanakan peraturan dan perundangan tersebut.
KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM HUBUNGAN INDUSTRIAL
8.      Pada tahun 1974 pemerintah Orde Baru melahirkan gagasan mengenai Konsep Hubungan Industrial Pancasila (HIP) yang disusun berdasarkan pertimbangan sosialbudaya dan nilai-nilai tradisional Indonesia. HIP memberi tekanan pada kemitraan antara pekerja/buruh, pengusaha, dan pemerintah yang bertujuan mewujudkan masyarakat industrial yang ideal. Cara negosiasi tripartit mengenai kebijakan dan penyelesaian perselisihan industri masih tetap menjadi petunjuk dasar dalam masalah hubungan industri pada periode pasca era Soeharto.
9.      Meskipun ada sedikit perubahan, perundang-undangan yang mengatur hubungan industrial di Indonesia hampir tidak mengalami perubahan berarti sejak adanya UU No.22 Tahun 1957 mengenai Penyelesaian Perselisihan Buruh dan UU No. 12 Tahun 1964 mengenai Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta. Pada pemerintahan singkat di bawah Presiden Habibie tahun 1998 dan 1999 dilakukan langkah penting dalam hubungan industrial, terutama dalam meratifikasi Konvensi ILO No. 87 Tahun 1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak-hak Untuk Berorganisasi. Hal Ini merupakan langkah positif menuju  platform  hubungan industrial yang adil, khususnya dalam memberikan perlindungan bagi pekerja/buruh yang akan membentuk atau menjadi anggota organisasi pekerja/buruh. Di bawah pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid perundang-undangan baru tentang Serikat Kerja/Serikat Buruh (SP/SB) disahkan melalui UU No. 21 Tahun 2000. Menurut UU ini, SP/SB atau SP-TP dapat dibentuk oleh minimum 10 anggota. UU ini juga menekankan bahwa siapapun dilarang menghalangi atau memaksa pembentukan atau tidak membentuk SP/SB atau SP-TP.  Sama halnya, tidak ada pihak manapun yang dapat menghalangi pekerja/buruh untuk menjadi pengurus atau anggota SP/SB atau SP-TP, atau melarang SP/SB atau SP-TP melakukan atau tidak menjalankan kegiatannya.
10.  Saat ini, dua RUU baru sedang dibahas di DPR.  Kedua RUU tersebut adalah RUU tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (RUU PPHI) dan RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan (PPK).  Berbeda dengan UU tahun 1957 dan 1964, penyelesaian perselisihan pada RUU PPHI diatur melalui Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial, dan melalui mediasi, konsiliasi, serta arbitrase. Berdasarkan temuan lapangan SMERU, sebagian besar pekerja/buruh, SP/SB, SP-TP, dan perusahaan tidak menyetujui RUU PPHI. Hanya sedikit dari mereka yang berpendapat bahwa PPHI akan memperbaiki keadaan saat ini. Selain terlalu tehnis, keberatan mereka termasuk: kemungkinan besar akan mahal dan memerlukan waktu yang lama apabila perselisihan diselesaikan melalui pengadilan; menempatkan pengusaha pada posisi yang kuat karena mereka mempunyai cukup dana; dan memperlemah hak pekerja/buruh untuk melibatkan SP/SB atau SP-TP sebagai wakilnya. Meskipun demikian, hanya sedikit pengusaha dan SP/SB atau SP-TP yang mengerti secara rinci makna dari setiap pasal dalam RUU tersebut.vi Lembaga Penelitian SMERU, Mei 2002
11.  Studi ini juga mempelajari pandangan pengusaha dan pekerja/buruh berkaitan dengan peraturan kontroversial tentang uang pesangon.  Peraturan baru tentang biaya pesangon untuk pekerja/buruh diberlakukan pemerintah pada Juni 2000 (Kepmenaker No. Kep- 150/Men/2000). Peraturan ini telah mengundang reaksi negatif yang kuat dari para pengusaha.  Menanggapi hal tersebut, pemerintah memodifikasi beberapa pasal dalam peraturan tersebut.  Perubahan ini telah memicu terjadinya konflik dan gejolak para pekerja/buruh secara massal. Karena adanya reaksi tersebut, pemerintah memberlakukan kembali Kepmenaker No.150. Pertanyaan tentang perubahan ini memperoleh tanggapan serupa dari pengusaha di satu pihak, dan pekerja/buruh di pihak lain. Pengusaha menilai pesangon tidak semestinya diberikan pada kasus mengundurkan diri dan kasus kriminal, sementara SP/SB atau SP-TP berpendapat bahwa upaya apapun untuk mengambil keuntungan dari pekerja/buruh merupakan langkah mundur.
12.  Meskipun perusahaan sadar bahwa kondisi ekonomi nasional belum sepenuhnya pulih, kebanyakan perusahaan tetap berupaya memenuhi hak-hak normatif pekerja/buruh. Mereka memenuhi upah minimum yang diwajibkan (sekitar 94% perusahaan).  Selain upah dalam bentuk tunai, beberapa perusahaan juga menyediakan balas jasa dalam bentuk lain yang disesuaikan dengan besarnya perusahaan.
13.  Sebagai akibat pemerintah meratifikasi Konvensi ILO No. 87 Tahun 1948 dan nengundangkan SP/SB dalam UU No. 21 Tahun 2000, jumlah organisasi pekerja/buruh di Indonesia tumbuh menjamur. Pada akhir 2001 Federasi SP/SB tingkat nasional tumbuh menjadi 61, satu konfederasi, dan sekitar 144 SP/SB tingkat nasional dengan 11.000 SP-TP yang telah mendaftar beranggotakan sekitar 11 juta pekerja/buruh. Meskipun demikian dengan memperhatikan jumlah pekerja/buruh di wilayah urban sebanyak 18 juta, kelihatannya jumlah keanggotaan pekerja/buruh dalam SP/SB yang dilaporkan terlalu berlebihan.
14.  Terdapat dua macam SP/SB yang dapat dibedakan berdasarkan cara pembentukannya. Pertama, SP/SB yang dibentuk sebagai basis bagi para anggotanya untuk menyampaikan keluhan-keluhan mereka kepada perusahaan.  SP/SB jenis ini mempunyai misi yang jelas, keanggotaan yang jelas, dan pengelolaan organisasinya baik. Kedua, SP/SB yang dibentuk sebagai basis politik, anggotanya termasuk non-pekerja/buruh yang mengklaim bahwa mereka bertindak demi kepentingan pekerja/buruh. Dari Federasi SP/SB yang diwawancarai hanya Sarbumusi yang mengakui dengan jelas bahwa mereka terkait dengan organisasi Muslim Nahdratul Ulama setelah mendapat mandat untuk merekrut tenaga kerja di bawah organisasi tersebut. Secara umum, pembentukan SP/SB tingkat nasional dimulai dari tingkat nasional tanpa ada proses seleksi dan tidak dibentuk dari bawah pada tingkat pekerja/buruh di perusahaan.
15.  SP-TP diyakini memiliki peran yang lebih menonjol dalam rangka standart kerja berkaitan dengan perbaikan produktivitas dibandingkan dengan SP/SB yang menjadi afiliasi karena SP-TP lebih dekat dengan tempat kerja.  Meskipun demikian, masih ada perusahaan yang tidak mendukung pembentukan SP-TP, sebaliknya pekerja/buruh-pun juga tidak selalu mengetahui manfaat adanya pembentukan SP-TP.
16.  Pada umumnya, pekerja/buruh menunjukkan minatnya membentuk SP-TP setelah mereka mengalami keresahan perselisihan yang tajam dengan pihak perusahaan.  Di wilayah penelitian, hanya sekitar 10%-20% yang dilaporkan memiliki, hal ini karena SP-TP jarang ditemui pada perusahaan kecil.   Meskipun demikian, dari 47 perusahaan yang diteliti, 39 perusahaan diantaranya telah membentuk SP-TP, setengahnya dibentuk setelah tahun 1997.  SP-TP yang dibentuk sebelum 1997, (umumnya SPSI) seringkali tidak memperoleh dukungan dari pihak perusahaan, dan sebagai konsekuensinya acapkali pekerja/buruh atau pemimpinnya mendapat intimidasi darivii Lembaga Penelitian SMERU, Mei 2002 pihak perusahaan. Saat ini, masih ada perusahaan yang tidak mendukung pembentukan SP-TP.
17.  Adanya unjuk rasa dan pemogokan yang banyak terjadi akhir-akhir ini telah membuat perusahaan trauma dan was-was, terutama yang memiliki SP-SP.  Pada saat yang sama, beberapa perusahaan yang khawatir terkena sanksi apabila mereka melanggar peraturan, maka pihak perusahaan tidak menghalangi secara terbuka pembentukan SP-TP. Pembentukan SP-TP cenderung dipicu oleh adanya perselisihan hubungan industrial yang menonjol dan sulit diselesaikan. Tim SMERU menemukan bahwa SP-TP jarang dibentuk di perusahaan yang hanya sedikit mengalami perselisihan atau dapat menyelesaikan perselisihannya secara bipartit. Delapan perusahaan responden memilih untuk tidak memiliki SP-TP dengan alasan antara lain:
• hingga saat ini perusahaan telah memenuhi semua hak-hak normatif dan hak-hak non-normatif pekerja;
• hubungan antara perusahaan dan pekerja sangat baik, terbukti dari pekerja dapat menyampaikan keluh-kesah mereka secara langsung dan ditanggapi dengan baik oleh perusahaan;
• ada wadah untuk berkomunikasi antara pengusaha dan pekerja melalui pertemuan rutin atau koperasi; dan
• perusahaan menganggap pekerja sebagai keluarga atau mitra.
18.  Pada umumnya, banyak perusahaan mengakui manfaat SP-TP setelah terbentuk, terutama ketika akan melakukan perundingan dengan pekerja. Sebelum SP-TP terbentuk, biasanya pihak perusahaan yang menyusun peraturan perusahaan mengenai kondisi kerja dan hal-hal lain yang berkaitan dengan ketenagakerjaan.  Pekerja/buruh yang ingin menyusun perjanjian bersama akan bernegosiasi dengan perwakilan dari divisi kerjanya masing-masing. Meskipun perusahaan sadar bahwa adanya SP-TP telah menimbulkan tuntutan-tuntutan baru, namun manfaat positif SP-TP semakin terasa bagi perusahaan karena SP-TP dapat mempermudah penyelesaian perselisihan di tingkat perusahaan. Disamping itu SP-TP juga dapat dimanfaatkan untuk melakukan pengawasan terhadap kedisiplinan pekerja.
19.  Ratifikasi Konvensi ILO No. 87 dan pelaksanaan UU No. 21, 2000 juga memungkinkan untuk mendirikan banyak SP-TP di dalam sebuah perusahaan. Keberadaan SP-TP lebih dari satu di dalam sebuah perusahaan ditemukan di beberapa perusahaan. Sejauh ini, kondisi ini tidak mengakibatkan konflik atau masalah diantara SP-TP tersebut. Meskipun demikian, pihak perusahaan, SP-TP, dan pekerja/buruh percaya bahwa proses pembentukan SP/SB atau SP-TP seperti dalam UU No. 21 Tahun 2000 sangat mudah, hanya 10 anggota diperlukan untuk membentuk SP-TP.  Banyak dari mereka cenderung memilih tidak lebih dari satu SP-TP dalam sebuah perusahaan.  Mereka mengusulkan agar serikat pekerja dibentuk berdasarkan prosentase jumlah total pekerja/buruh di masing-masing perusahaan. Lainnya mengusulkan bahwa persyaratan jumlah pekerja/buruh untuk mendirikan serikat pekerja/serikat buruh ditambah, dari 10 anggota menjadi 100 anggota. Tim SMERU mencatat persamaan dalam alasan yang dikemukakan perusahaan, SP/SB, dan pekerja/buruh mengenai alasan penolakan keberadaan lebih dari satu SP-TP dalam satu perusahaan.  Apabila di satu perusahaan terdapat lebih dari satu SP/SB, maka akan sulit menentukan SP/SB yang harus mewakili pekerja/buruh dalam perundingan atau penyelesaian perselisihan walaupun menurut Kepmenaker Tahun 1985, SP/SB yang memiliki anggota paling tidak 50% dari seluruh pekerja/buruh akan mewakili pekerja/buruh.  Secara umum, banyaknya serikat pekerja seperti ini membuat lebih sulitnya penentuan wakil pekerja/buruh dalam negosiasiviii Lembaga Penelitian SMERU, Mei 2002 tripartit nasional yang diwakili 10 SP/SB, bersama-sama dengan 10 wakil dari unsur organisasi pengusaha, dan unsur pemerintah.
20.  Meskipun SP/SB dapat dibentuk oleh sekurang-kurangnya 10 orang pekerja/buruh, pada umumnya perusahaan berskala kecil dan sedang (sekitar 50 pekerja/buruh atau kurang) berpendapat bahwa pekerjanya belum memerlukan SP-TP. Pengusaha dan pekerja/buruh percaya bahwa mereka tidak memerlukan SP-TP karena selama ini mereka telah dapat menyelesaikan perselisihan antar mereka dengan baik. Pekerja setiap saat dapat  menyampaikan masalahnya langsung kepada pengawas atau pimpinan.
21.  21. Menurut data Depnaker 1997, 6,6% perusahaan memiliki KKB. Pada tahun yang sama, sekitar 78% SP-TP mendaftarkan diri ke Depnaker telah memiliki KKB.  Peraturan Perusahaan (PP) adalah alternatif yang sah dari KKB/PKB bagi perusahaan yang tidak memiliki SP-TP.  Sekitar 30% dari perusahaan sampel mempunyai PP, 58% PKB/KKB, dan 12% mempunyai PP atau PKB/KKB (terdiri dari 3 perusahaan besar dan 3 perusahaan sedang).
22.  Pasal-pasal yang diatur dalam PKB pada umumnya seragam di semua wilayah penelitian. Pasal-pasal tersebut termasuk ketentuan umum, pengakuan dan fasilitas bagi SP, hubungan kerja, waktu kerja, pengupahan, keselamatan dan kesejahteraan kerja, cuti-ijin tidak bekerja dan hari libur, peraturan tata tertib, sanksi-sanksi terhadap pelanggaran, PHK, dan penyelesaian keluh-kesah.
23.  Informasi lapangan menunjukkan bahwa secara umum proses pembuatan KKB/PKB melibatkan pekerja/buruh yang diwakili oleh SP-TP dan perusahaan. Namun demikian dalam jumlah kecil ada kasus dimana PKB dibuat oleh perusahaan dan SPTP hanya membaca dan harus menyetujuinya. Beberapa perusahaan juga menggunakan kuasa hukum yang bukan pegawai perusahaan.  Sementara itu, pihak pekerja/buruh diwakili oleh pengurus SP-TP, dan kadang-kadang koordinator diikutsertakan dalam proses perundingan.
24.  24. Walaupun kesepakatan kerja bersama disusun berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak, pengusaha dan pekerja/buruh, perselisihan tetap dapat terjadi.  Seringkali kasus perselisihan terjadi justru mengenai masalah-masalah di luar hal-hal yang telah menjadi kesepakatan bersama. Misalnya, seperti yang baru-baru ini terjadi pada pelaksanaan kenaikan upah minimum dan tuntutan kenaikan upah, uang transpor, uang makan, uang susu, sebagai akibat kenaikan BBM.  Oleh karena itu, diperlukan petunjuk untuk menampung negosiasi hal-hal yang tidak tercantum dalam kesepakatan kerjs bersama, atau klausul khusus dimasukkan dalam kesepakatan tersebut, untuk mencegah perselisihan industrial.
25.  Dari kasus-kasus perselisihan industrial dan pemogokan kerja di tingkat perusahaan, penyebab utama yang sering ditemui di banyak perusahaan dapat dikelompokkan dalam empat kategori:  (i) tuntutan non-normatif, yaitu yang berhubungan dengan hal-hal yang tidak diatur dalam peraturan perundangan dan PKB/KKB; (ii) tuntutan normatif, yaitu tuntutan terhadap hak-hak yang telah diatur dalam peraturan perundangan dan hak-hak yang telah telah disepakati dalam PKB/KKB atau PP; (iii) keterlibatan pihak ketiga, seperti pekerja/buruh dari perusahaan lain atau SP/SB Afiliasi lain) yang memprovokasi pekerja/buruh sehingga terjadi perselisihan; dan (iv) tekanan dari beberapa pekerja di dalam perusahaan yang memaksa pekerja lain agar ikut berunjuk rasa.Lembaga Penelitian SMERU, Mei 2002 ix
Faktor penyebab perselisihan industrial lainnya, antara lain:
• solidaritas terhadap sesama pekerja yang dinilai telah diperlakukan secara kurang adil oleh perusahaan;
• perbedaan persepsi tentang perundangan dan peraturan pemerintah;
• menuntut kepala personalia yang dinilai bersikap keras terhadap pekerja/buruh dan berpihak pada perusahaan agar mundur;
• perubahan manajemen perusahaan yang dinilai tidak memperhatikan kepentingan dan kesejahteraan pekerja;
• menuntut adanya transparansi perusahaan (terutama berkaitan dengan keuntungan perusahaan yang mungkin dapat menjadi bagian pekerja/buruh dalam bentuk upah yang lebih tinggi atau peningkatan kesejahteraan);
• pelaksanaan peraturan uang pesangon; perusahaan dianggap tidak terbuka tentang keuntungan perusahaan;
• kecurigaan mengenai adanya penyalahgunaan dana Jamsostek;
• ketidaksabaran pekerja dalam menunggu hasil perundingan; atau
• tuntutan-tuntutan baru lainnya yang muncul seiring dengan meningkatnya pengetahuan pekerja tentang hak-hak mereka setelah SP-TP terbentuk di tempat kerja mereka.
26.  Meskipun demikian, penelitian ini memunjukkan bahwa sistem hubungan industrial di tingkat perusahaan berfungsi luar biasa mulus.  Berdasarkan empat kategori perselisihan 1Tim SMERU mencatat bahwa dalam kurun waktu lima tahun terakhir, hanya 3 (6%) perusahaan dari 47 perusahaan yang mengalami perselisihan sangat berat, 21% perusahaan mengalami perselisihan berat, 30% perusahaan mengalami perselisihan sedang, sebanyak 26% perusahaan mengalami perselisihan ringan.  Delapan dari perusahaan sampel, menurut pengusaha maupun pekerja/buruhnya atau SP-TP, tidak pernah mengalami perselisihan kecuali menerima keluh-kesah dan menghadapi kasus perselisihan perseorangan.
Empat kategori perselisihan hubungan industrial adalah:
(a) perselisihan ringan: perselisihan tanpa mogok kerja dan dapat diselesaikan secara bipartit;
(b) perselisihan sedang: perselisihan yang disertai mogok kerja dan dapat diselesaikan secara bipartit;
(c) perselisihan berat: perselisihan industrial tanpa mogok kerja dan diselesaikan di tingkat tripartit; dan (d) perselisihan sangat berat, yaitu perselisihan industrial disertai mogok kerja dan belum atau dapat diselesaikan di tingkat tripartit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar