Inflasi, Nilai Rupiah, dan Kebijakan BI
SUBMITTED
BY ADMIN ON
WED, 05/23/2012 - 13:30
NAIKNYA
tekanan inflasi telah mendorong Bank Indonesia untuk menaikkan suku bunga SBI
secara signifikan. Belum lagi kita mengetahui efektivitas langkah tersebut,
masalah yang lain sudah timbul: rupiah melemah. Apakah yang terjadi? Dan,
langkah apakah yang seharusnya diambil oleh BI?
ADA
beberapa faktor, baik dari luar negeri maupun dalam negeri, yang mendorong
pelemahan rupiah akhir-akhir ini.
Faktor
utama dari luar negeri adalah inflasi di Amerika Serikat sebesar 0,6 persen
bulan- ke-bulan (m-to-m) pada bulan Maret 2005. Angka ini jauh berada di atas
perkiraan pasar. Akibatnya, pasar berspekulasi bahwa The Fed akan menaikkan
suku bunga (The Fed Funds Rate) lebih agresif lagi dalam jangka waktu dekat.
Hal ini membuat pasar berspekulasi bahwa dollar AS akan menguat (karena imbal
hasil dari aset dalam dollar AS juga akan naik), yang membuat dollar AS
benar-benar menguat terhadap hampir seluruh mata uang dunia, termasuk rupiah.
Namun,
dibandingkan dengan mata uang lain, rupiah relatif lebih terpuruk. Apabila
dibandingkan dengan nilainya pada akhir tahun 2004, sampai dengan 28 April 2005
rupiah terdepresiasi sebesar 3,24 persen. Angka ini jauh lebih besar jika
dibandingkan dengan baht (terdepresiasi 1,67 persen) maupun dollar Singapura
(terdepresiasi 0,97 persen). Jadi, selain faktor internasional, tampaknya ada
faktor domestik yang membuat rupiah kita melemah.
Menurut
perhitungan Danareksa Research Institute (DRI), nilai fundamental rupiah pada
saat ini berada di atas Rp 9.500 per dollar AS, dan tampaknya tidak akan
berubah signifikan dalam waktu dekat. Nilai rupiah yang rendah ini terutama
disebabkan laju pertumbuhan suplai uang (M1) yang terlalu tinggi dibandingkan
dengan yang diperlukan oleh pertumbuhan ekonomi pada saat ini.
Penjelasan
sederhananya adalah kelebihan likuiditas dalam perekonomian akan membuat orang
berspekulasi mata uang. Selain itu, laju pertumbuhan M1 yang tinggi juga
menambah tekanan inflasi (menurut Friedman: Inflation is always and everywhere
a monetary phenomenon. To control inflation, you need to control the money
supply).
Faktor
domestik lain yang memicu pelemahan rupiah adalah angka inflasi pada Maret 2005
mencapai 8,81 persen (tahunan), yang disebabkan oleh kenaikan harga BBM. Angka
ini berada jauh di atas perkiraan pasar dan telah memicu naiknya ekspektasi
inflasi, yang kemudian menimbulkan ekspektasi pelemahan rupiah.
Biasanya
negara yang mengalami laju inflasi tinggi, mata uangnya cenderung melemah (ini
dikenal dengan teori Purchasing Power Parity). Karena ekspektasi tersebut,
orang (spekulan) ramai memborong dollar AS dan rupiah menjadi benar- benar
terdepresiasi.
Langkah-langkah
BI
BI
menyadari adanya ancaman meningkatnya tekanan inflasi (karena kenaikan harga
BBM) dan masalah kelebihan likuiditas. Hal ini terlihat dari pernyataan para
pejabat BI bahwa BI akan memperketat kebijakan moneternya.
Pernyataan
tersebut dibuktikan dalam dua lelang SBI terakhir di bulan April, yang
menghasilkan peningkatan suku bunga SBI. Suku bunga SBI satu bulan mencapai
7,70 persen dalam lelang terakhir, naik cukup signifikan dari 7,44 persen pada
akhir bulan Maret.
Akan
tetapi, bila dilihat dari sisi penyerapan kelebihan likuiditas, dapat dikatakan
BI belum berbuat apa-apa. Hal ini terlihat dari data dua lelang terakhir. Pada
minggu pertama bulan April, SBI yang diterbitkan (BI menyerap uang) mencapai Rp
64,72 triliun, sedangkan SBI yang jatuh tempo (BI menyuplai uang) mencapai Rp
71,99 triliun. Dan, pada lelang minggu ke tiga bulan April, SBI yang
diterbitkan mencapai Rp 46,07 triliun, sedangkan yang jatuh tempo Rp 52
triliun.
Jadi,
dalam dua lelang terakhir, dana yang diserap BI lebih sedikit dari dana yang
dikeluarkan, atau terjadi penambahan uang di dalam sistem perekonomian (ada
kemungkinan BI menyerap tambahan uang tersebut dengan Fasilitas Bank
Indonesia/FASBI, namun sulit untuk memastikan hal tersebut karena datanya belum
ada).
Hasil
yang dicapai dari lelang SBI tersebut adalah kenaikan suku bunga SBI. Dan,
kenaikan tersebut telah menekan harga obligasi, yang menimbulkan kepanikan pada
industri reksa dana yang terlihat dari redemption yang masif. Untuk membantu
menenangkan industri reksa dana, BI telah membeli obligasi pemerintah di pasar
sekunder sebanyak dua kali. Masing-masing sebesar Rp 4,3 triliun (7 April 2005)
dan Rp 2,2 triliun (13 April 2005).
Dalam
proses pembelian tersebut, BI membayarkan uang kepada pemilik lama obligasi
yang dibeli. Artinya, ada tambahan uang lagi ke sistem perekonomian. Hal ini
membuat kebijakan menaikkan suku bunga SBI semakin tidak efektif. Di bulan
April, BI tidak menyerap kelebihan likuiditas yang ada di pasar. Malah
sebaliknya, BI menambah suplai uang ke dalam sistem perekonomian, yang memberi
tekanan tambahan terhadap laju inflasi dan terhadap rupiah. Akibatnya, rupiah
semakin terpuruk.
Pelajaran
dari krisis lalu
Kekonsistenan
sangat diperlukan dalam kebijakan moneter. Harus diperhatikan bahwa, dalam jangka
pendek, penurunan laju pertumbuhan suplai uang (kebijakan moneter ketat)
berasosiasi dengan kenaikan suku bunga. Dan, kenaikan laju pertumbuhan suplai
uang (kebijakan moneter yang longgar) berasosiasi dengan penurunan suku bunga.
Jadi,
dalam melakukan kebijakan moneter, selain memerhatikan arah pergerakan suku
bunga, bank sentral juga harus memerhatikan arah laju pertumbuhan suplai uang.
Membuat kedua variabel tersebut bergerak searah akan membingungkan pasar dan
dapat membuat kebijakan moneter menjadi tidak efektif.
Krisis
ekonomi yang melanda Asia pada tahun 1997-1998 dapat memberikan pelajaran yang
amat berharga buat kita bahwa cara mengendalikan laju inflasi yang paling
efektif adalah dengan mengendalikan laju pertambahan suplai uang (M1).
Pada
masa krisis kita sering mendengar klaim bahwa Indonesia melakukan kebijakan
moneter ketat. Hal itu dapat dilihat dari kenaikan suku bunga yang amat tinggi.
Pada puncaknya, suku bunga SBI mencapai sekitar 70 persen. Tetapi, pada masa
tersebut kita merasakan laju inflasi yang tinggi pula, bahkan pernah mencapai
sekitar 80 persen (gambar 1). Apakah kebijakan moneter ketat tersebut tidak
efektif? Iya, kalau dilihat dari suku bunga saja.
Tetapi,
kalau dilihat dari sisi laju pertumbuhan suplai uang, sebenarnya Indonesia
tidak melakukan kebijakan uang ketat pada saat itu. Yang terjadi bahkan
sebaliknya, M1 tumbuh dengan amat pesat (di atas 50 persen). Hal itulah yang
membuat laju inflasi menjadi lebih tinggi pada tahun 1998.
Sementara
itu, negara tetangga kita berhasil melakukan kebijakan moneter ketat yang lebih
efektif. Thailand, misalnya, hanya menaikkan suku bunga ke level sekitar 20
persen. Akan tetapi, negara tersebut dapat mengendalikan laju pertumbuhan
suplai uangnya dengan lebih baik. Pertumbuhan M1 berfluktuasi di sekitar nol
persen pada masa krisis, bahkan sering memiliki nilai negatif. Akibatnya, laju
inflasi dapat ditekan di bawah sepuluh persen pada masa krisis (gambar 2).
Malaysia
bahkan dapat menekan laju pertumbuhan M1 tanpa harus menaikkan suku bunga
signifikan. Akibatnya, inflasi yang dialami negara tersebut bahkan lebih kecil
lagi dibandingkan dengan yang dialami Thailand (gambar 3).
Data
pada masa krisis juga memperlihatkan, laju pertumbuhan uang yang terkendali
dapat juga mengurangi tingkat pelemahan nilai tukar. Pada masa krisis,
depresiasi maksimum dari nilai tukar ringgit Malaysia adalah 45 persen
(dibandingkan dengan nilai tukar pada bulan Januari 1997) dan depresiasi
maksimum nilai tukar baht Thailand adalah 52 persen. Sementara itu, nilai tukar
rupiah mengalami depresiasi maksimum 84 persen.
Konsistensi
kebijakan
Kita
tidak perlu terlalu panik dengan pelemahan rupiah saat ini. Nilai tukar rupiah
pada level sekarang tidak akan mengganggu pertumbuhan ekonomi Indonesia secara
signifikan. Di samping itu, peluang terjadinya krisis mata uang lagi seperti
tahun 1997-1998 amatlah kecil.
Pertama-tama,
cadangan devisa Indonesia sekarang cukup besar. Selain itu, bank sentral di
kawasan Asia mempunyai cadangan devisa dollar AS yang cukup besar (lebih dari 2
triliun dollar AS) untuk mencegah penguatan dollar AS yang terlalu berlebihan.
Selain
itu, sekarang sudah ada perjanjian antar-bank sentral di kawasan Asia, yang
disebut Chiang Mai Initiative, di mana Indonesia dapat meminjam uang lebih dari
10 miliar dollar AS, 1 miliar dollar AS di antaranya dapat dicairkan tanpa
persyaratan yang rumit.
Lebih
jauh lagi, penambahan instrumen moneter yang dilakukan BI tentunya akan membuat
pengendalian nilai tukar menjadi lebih mudah. Namun, BI harus tetap menjaga
komitmennya untuk mengendalikan laju inflasi dengan mengendalikan laju
pertumbuhan suplai uang.
Laju
inflasi yang terkendali pada akhirnya akan menurunkan ekspektasi inflasi dan
juga akan menurunkan ekspektasi terhadap pelemahan nilai tukar rupiah. Dan,
untuk mencapai hal tersebut, kebijakan moneter harus dilakukan secara
konsisten. Misalnya pada saat ingin melalukan kebijakan moneter yang ketat,
sebaiknya tidak melakukan pembelian obligasi di pasar sekunder karena hal itu
akan meningkatkan laju pertumbuhan suplai uang dan membuat kebijakan moneter
ketat menjadi tidak efektif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar