Senin, 10 Februari 2014

Inflasi, Nilai Rupiah dan Kebijakan RI

Inflasi, Nilai Rupiah, dan Kebijakan BI
SUBMITTED BY ADMIN ON WED, 05/23/2012 - 13:30
NAIKNYA tekanan inflasi telah mendorong Bank Indonesia untuk menaikkan suku bunga SBI secara signifikan. Belum lagi kita mengetahui efektivitas langkah tersebut, masalah yang lain sudah timbul: rupiah melemah. Apakah yang terjadi? Dan, langkah apakah yang seharusnya diambil oleh BI?
ADA beberapa faktor, baik dari luar negeri maupun dalam negeri, yang mendorong pelemahan rupiah akhir-akhir ini.
Faktor utama dari luar negeri adalah inflasi di Amerika Serikat sebesar 0,6 persen bulan- ke-bulan (m-to-m) pada bulan Maret 2005. Angka ini jauh berada di atas perkiraan pasar. Akibatnya, pasar berspekulasi bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga (The Fed Funds Rate) lebih agresif lagi dalam jangka waktu dekat. Hal ini membuat pasar berspekulasi bahwa dollar AS akan menguat (karena imbal hasil dari aset dalam dollar AS juga akan naik), yang membuat dollar AS benar-benar menguat terhadap hampir seluruh mata uang dunia, termasuk rupiah.
Namun, dibandingkan dengan mata uang lain, rupiah relatif lebih terpuruk. Apabila dibandingkan dengan nilainya pada akhir tahun 2004, sampai dengan 28 April 2005 rupiah terdepresiasi sebesar 3,24 persen. Angka ini jauh lebih besar jika dibandingkan dengan baht (terdepresiasi 1,67 persen) maupun dollar Singapura (terdepresiasi 0,97 persen). Jadi, selain faktor internasional, tampaknya ada faktor domestik yang membuat rupiah kita melemah.
Menurut perhitungan Danareksa Research Institute (DRI), nilai fundamental rupiah pada saat ini berada di atas Rp 9.500 per dollar AS, dan tampaknya tidak akan berubah signifikan dalam waktu dekat. Nilai rupiah yang rendah ini terutama disebabkan laju pertumbuhan suplai uang (M1) yang terlalu tinggi dibandingkan dengan yang diperlukan oleh pertumbuhan ekonomi pada saat ini.
Penjelasan sederhananya adalah kelebihan likuiditas dalam perekonomian akan membuat orang berspekulasi mata uang. Selain itu, laju pertumbuhan M1 yang tinggi juga menambah tekanan inflasi (menurut Friedman: Inflation is always and everywhere a monetary phenomenon. To control inflation, you need to control the money supply).
Faktor domestik lain yang memicu pelemahan rupiah adalah angka inflasi pada Maret 2005 mencapai 8,81 persen (tahunan), yang disebabkan oleh kenaikan harga BBM. Angka ini berada jauh di atas perkiraan pasar dan telah memicu naiknya ekspektasi inflasi, yang kemudian menimbulkan ekspektasi pelemahan rupiah.
Biasanya negara yang mengalami laju inflasi tinggi, mata uangnya cenderung melemah (ini dikenal dengan teori Purchasing Power Parity). Karena ekspektasi tersebut, orang (spekulan) ramai memborong dollar AS dan rupiah menjadi benar- benar terdepresiasi.
Langkah-langkah BI
BI menyadari adanya ancaman meningkatnya tekanan inflasi (karena kenaikan harga BBM) dan masalah kelebihan likuiditas. Hal ini terlihat dari pernyataan para pejabat BI bahwa BI akan memperketat kebijakan moneternya.
Pernyataan tersebut dibuktikan dalam dua lelang SBI terakhir di bulan April, yang menghasilkan peningkatan suku bunga SBI. Suku bunga SBI satu bulan mencapai 7,70 persen dalam lelang terakhir, naik cukup signifikan dari 7,44 persen pada akhir bulan Maret.
Akan tetapi, bila dilihat dari sisi penyerapan kelebihan likuiditas, dapat dikatakan BI belum berbuat apa-apa. Hal ini terlihat dari data dua lelang terakhir. Pada minggu pertama bulan April, SBI yang diterbitkan (BI menyerap uang) mencapai Rp 64,72 triliun, sedangkan SBI yang jatuh tempo (BI menyuplai uang) mencapai Rp 71,99 triliun. Dan, pada lelang minggu ke tiga bulan April, SBI yang diterbitkan mencapai Rp 46,07 triliun, sedangkan yang jatuh tempo Rp 52 triliun.
Jadi, dalam dua lelang terakhir, dana yang diserap BI lebih sedikit dari dana yang dikeluarkan, atau terjadi penambahan uang di dalam sistem perekonomian (ada kemungkinan BI menyerap tambahan uang tersebut dengan Fasilitas Bank Indonesia/FASBI, namun sulit untuk memastikan hal tersebut karena datanya belum ada).
Hasil yang dicapai dari lelang SBI tersebut adalah kenaikan suku bunga SBI. Dan, kenaikan tersebut telah menekan harga obligasi, yang menimbulkan kepanikan pada industri reksa dana yang terlihat dari redemption yang masif. Untuk membantu menenangkan industri reksa dana, BI telah membeli obligasi pemerintah di pasar sekunder sebanyak dua kali. Masing-masing sebesar Rp 4,3 triliun (7 April 2005) dan Rp 2,2 triliun (13 April 2005).
Dalam proses pembelian tersebut, BI membayarkan uang kepada pemilik lama obligasi yang dibeli. Artinya, ada tambahan uang lagi ke sistem perekonomian. Hal ini membuat kebijakan menaikkan suku bunga SBI semakin tidak efektif. Di bulan April, BI tidak menyerap kelebihan likuiditas yang ada di pasar. Malah sebaliknya, BI menambah suplai uang ke dalam sistem perekonomian, yang memberi tekanan tambahan terhadap laju inflasi dan terhadap rupiah. Akibatnya, rupiah semakin terpuruk.

Pelajaran dari krisis lalu
Kekonsistenan sangat diperlukan dalam kebijakan moneter. Harus diperhatikan bahwa, dalam jangka pendek, penurunan laju pertumbuhan suplai uang (kebijakan moneter ketat) berasosiasi dengan kenaikan suku bunga. Dan, kenaikan laju pertumbuhan suplai uang (kebijakan moneter yang longgar) berasosiasi dengan penurunan suku bunga.
Jadi, dalam melakukan kebijakan moneter, selain memerhatikan arah pergerakan suku bunga, bank sentral juga harus memerhatikan arah laju pertumbuhan suplai uang. Membuat kedua variabel tersebut bergerak searah akan membingungkan pasar dan dapat membuat kebijakan moneter menjadi tidak efektif.
Krisis ekonomi yang melanda Asia pada tahun 1997-1998 dapat memberikan pelajaran yang amat berharga buat kita bahwa cara mengendalikan laju inflasi yang paling efektif adalah dengan mengendalikan laju pertambahan suplai uang (M1).
Pada masa krisis kita sering mendengar klaim bahwa Indonesia melakukan kebijakan moneter ketat. Hal itu dapat dilihat dari kenaikan suku bunga yang amat tinggi. Pada puncaknya, suku bunga SBI mencapai sekitar 70 persen. Tetapi, pada masa tersebut kita merasakan laju inflasi yang tinggi pula, bahkan pernah mencapai sekitar 80 persen (gambar 1). Apakah kebijakan moneter ketat tersebut tidak efektif? Iya, kalau dilihat dari suku bunga saja.
Tetapi, kalau dilihat dari sisi laju pertumbuhan suplai uang, sebenarnya Indonesia tidak melakukan kebijakan uang ketat pada saat itu. Yang terjadi bahkan sebaliknya, M1 tumbuh dengan amat pesat (di atas 50 persen). Hal itulah yang membuat laju inflasi menjadi lebih tinggi pada tahun 1998.
Sementara itu, negara tetangga kita berhasil melakukan kebijakan moneter ketat yang lebih efektif. Thailand, misalnya, hanya menaikkan suku bunga ke level sekitar 20 persen. Akan tetapi, negara tersebut dapat mengendalikan laju pertumbuhan suplai uangnya dengan lebih baik. Pertumbuhan M1 berfluktuasi di sekitar nol persen pada masa krisis, bahkan sering memiliki nilai negatif. Akibatnya, laju inflasi dapat ditekan di bawah sepuluh persen pada masa krisis (gambar 2).
Malaysia bahkan dapat menekan laju pertumbuhan M1 tanpa harus menaikkan suku bunga signifikan. Akibatnya, inflasi yang dialami negara tersebut bahkan lebih kecil lagi dibandingkan dengan yang dialami Thailand (gambar 3).
Data pada masa krisis juga memperlihatkan, laju pertumbuhan uang yang terkendali dapat juga mengurangi tingkat pelemahan nilai tukar. Pada masa krisis, depresiasi maksimum dari nilai tukar ringgit Malaysia adalah 45 persen (dibandingkan dengan nilai tukar pada bulan Januari 1997) dan depresiasi maksimum nilai tukar baht Thailand adalah 52 persen. Sementara itu, nilai tukar rupiah mengalami depresiasi maksimum 84 persen.

Konsistensi kebijakan
Kita tidak perlu terlalu panik dengan pelemahan rupiah saat ini. Nilai tukar rupiah pada level sekarang tidak akan mengganggu pertumbuhan ekonomi Indonesia secara signifikan. Di samping itu, peluang terjadinya krisis mata uang lagi seperti tahun 1997-1998 amatlah kecil.
Pertama-tama, cadangan devisa Indonesia sekarang cukup besar. Selain itu, bank sentral di kawasan Asia mempunyai cadangan devisa dollar AS yang cukup besar (lebih dari 2 triliun dollar AS) untuk mencegah penguatan dollar AS yang terlalu berlebihan.
Selain itu, sekarang sudah ada perjanjian antar-bank sentral di kawasan Asia, yang disebut Chiang Mai Initiative, di mana Indonesia dapat meminjam uang lebih dari 10 miliar dollar AS, 1 miliar dollar AS di antaranya dapat dicairkan tanpa persyaratan yang rumit.
Lebih jauh lagi, penambahan instrumen moneter yang dilakukan BI tentunya akan membuat pengendalian nilai tukar menjadi lebih mudah. Namun, BI harus tetap menjaga komitmennya untuk mengendalikan laju inflasi dengan mengendalikan laju pertumbuhan suplai uang.

Laju inflasi yang terkendali pada akhirnya akan menurunkan ekspektasi inflasi dan juga akan menurunkan ekspektasi terhadap pelemahan nilai tukar rupiah. Dan, untuk mencapai hal tersebut, kebijakan moneter harus dilakukan secara konsisten. Misalnya pada saat ingin melalukan kebijakan moneter yang ketat, sebaiknya tidak melakukan pembelian obligasi di pasar sekunder karena hal itu akan meningkatkan laju pertumbuhan suplai uang dan membuat kebijakan moneter ketat menjadi tidak efektif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar