BAB I
PENDAHULUAN
A.
Pengertian
Pajak
Pengertian Pajak
Menurut Undang-Undang :
§ Pajak
Menurut Pasal 1 angka 1 UU No.28 th 2007
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan:
“Pajak adalah kontribusi wajib kepada
negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan
digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemamakmuran rakyat”.
Pengertian
pajak menurut beberapa ahli :
a)
Leroy Beaulieu
Pajak adalah bantuan, baik secara
langsung maupun tidak yang dipaksakan oleh kekuasaan publik dari penduduk atau
dari barang, untuk menutup belanja pemerintah.
b)
P. J. A. Adriani
Pajak adalah iuran masyarakat kepada
negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya
menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang)
dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang
gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas
negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
c)
Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH
Pajak adalah iuran rakyat
kepada Kas Negara
berdasarkan undang-undang (yang dapat
dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung
dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi
tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut: Pajak adalah
peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai
pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving
yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.
d)
Ray M. Sommerfeld, Herschel M. Anderson,
dan Horace R. Brock
Pajak adalah suatu pengalihan sumber
dari sektor swasta ke sektor
pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan,
berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang
langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya
untuk menjalankan pemerintahan.
Dari beberapa
pengertian di atas maka dapat disimpulkan pengertian pajak :
Pajak adalah iuran
rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang —sehingga dapat dipaksakan—
dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa
berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup
biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif
untuk mencapai kesejahteraan umum.
B.
Fungsi
Pajak
Pajak mempunyai peranan
yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan
pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara
untuk membiayai semua pengeluaran
termasuk pengeluaran pembangunan. Berdasarkan hal di atas maka pajak mempunyai
beberapa fungsi, yaitu:
§ Fungsi
anggaran (budgetair)
Sebagai sumber
pendapatan negara,
pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk
menjalankan tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan pembangunan, negara
membutuhkan biaya. Biaya
ini dapat diperoleh dari penerimaan pajak. Dewasa ini pajak digunakan untuk
pembiayaan rutin seperti belanja pegawai,
belanja barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya. Untuk pembiayaan
pembangunan,uang dikeluarkan
dari tabungan
pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin. Tabungan
pemerintah ini dari tahun ke tahun harus ditingkatkan sesuai kebutuhan
pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat dan ini terutama diharapkan dari
sektor pajak.
§ Fungsi
mengatur (regulerend)
Pemerintah bisa
mengatur pertumbuhan ekonomi
melalui kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan
sebagai alat untuk mencapai tujuan. Contohnya dalam rangka menggiring penanaman
modal,
baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas
keringanan pajak. Dalam rangka melindungi produksi dalam negeri, pemerintah
menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri.
§ Fungsi
stabilitas
Dengan adanya pajak,
pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan
stabilitas harga sehingga inflasi
dapat dikendalikan, Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur
peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif
dan efisien.
§ Fungsi
redistribusi pendapatan
Pajak yang sudah
dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum,
termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan
kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.
C. Penerimaan Pajak di Indonesia
Penerimaan pajak tahun
2012 adalah 835,25 Triliun, dibandingkan dengan realisasi Tahun 2011 maka
realisasi penerimaan perpajakan tahun 2012 naik sebesar 92,53 Trilyun atau
mengalami pertumbuhan sebesar 12, 47 %. Pertumbuhan ini lebih tinggi
dibandingkan dengan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2012 sebesar
10,87%. Realisasi penerimaan pajak 2012 per jenis pajak :
Rencana penerimaan
pajak Tahun 2013 adalah sebesar Rp1.042,32 triliun atau tumbuh 24,79%
dibandingkan dengan realisasi penerimaan tahun 2012. Penerimaan tersebut
memberikan kontribusi sebesar 68,14% dari rencana anggaran Pendapatan Negara
Tahun 2013 sebesar Rp1.529,67 triliun.
Pendapatan pajak itu
belum termasuk pendapatan cukai, bea masuk, dan pendapatan pungutan ekspor.
o
Pajak
o
Berdasarkan wujudnya, pajak dibedakan
menjadi:
1) Pajak
langsung adalah pajak yang dibebankan secara langsung kepada wajib pajak
seperti pajak pendapatan, pajak kekayaan.
2) Pajak
tidak langsung adalah pajak/pungutan wajib yang harus dibayarkan sebagai sumbangan
wajib kepada negara yang secara tidak langsung dikenakan kepada wajib pajak
seperti cukai rokok dan sebagainya.
o
Berdasarkan jumlah yang harus
dibayarkan, pajak dibedakan menjadi:
1) Pajak
pendapatan adalah pajak yang dikenakan atas pendapatan tahunan dan laba dari
usaha seseorang, perseroan terbatas/unit lain.
2) Pajak
penjualan adalah pajak yang dibayarkan pada waktu terjadinya penjualan
barang/jasa yang dikenakan kepada pembeli.
3) Pajak
badan usaha adalah pajak yang dikenakan kepada badan usaha seperti perusahaan
bank dan sebagainya.
Laba usaha yang
diterima oleh badan usaha maupun perorangan itulah yang akan dikenai PPh.
Namun, bagi Wajib Pajak perorangan, sebelum laba dikenakan pajak terlebih
dahulu dikurangkan dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang besarnya
ditetapkan dan bergantung pada jumlah tanggungan keluarganya. Sebenarnya, pihak
yang memiliki sebuah usaha berbentuk badan adalah juga perorangan sebagai
investor. Hasil yang akan diterima oleh investor sebagai pemilik usaha
merupakan penghasilan kembali yang merupakan Objek PPh bagi perorangan. Namun
karena prinsip usaha adalah “going concern” maka keuntungan dari sebuah badan
usaha tidak selalu langsung dinikmati oleh investor (pemilik) tetapi dapat
ditanamkan kembali untuk memperbesar usaha. Sehingga penghasilan yang diterima
oleh perorangan atas investasinya di badan usaha bisa ditunda sampai keuntungan
tersebut dibagikan ke perorangan.
Pajak berdasarkan
pungutannya dapat dibedakan menjadi:
1) Pajak
bumi dan bangunan (PBB) adalah pajak/pungutan yang dikumpulkan oleh pemerintah
pusat terhadap tanah dan bangunan kemudian didistrubusiakan kepada daerah
otonom sebagai pendapatan daerah sendiri.
2) Pajak
perseroan adalah pungutan wajib atas laba perseroan/badan usaha lain yang
modalnya/bagiannya terbagi atas saham–saham.
3) Pajak
siluman adalah pungutan secara tidak resmi/pajak gelap dan merupakan sumber
korupsi.
4) Pajak
transit adalah pajak yang dipungut di tempat tertentu yang harus dilalui oleh
pengangkutan orang/barang dari suatu tempat ke tempat lain.
BAB II
PEMBAHASAN
Kasus Penggelapan Pajak Yang
Dilakukan Oleh PT Asian Agri Group
PT Asian Agri Group (AAG) adalah
salah satu induk usaha terbesar kedua di Grup Raja Garuda Mas, perusahaan milik
Sukanto Tanoto. Menurut majalah Forbes,
pada tahun 2006 Tanoto adalah keluarga paling kaya di Indonesia, dengan
kekayaan mencapai US$ 2,8 miliar (sekitar Rp 25,5 triliun). Selain PT AAG, terdapat perusahaan lain yang
berada di bawah naungan Grup Raja Garuda Mas, di antaranya: Asia Pacific Resources International
Holdings Limited (APRIL),
Indorayon, PEC-Tech, Sateri
International, dan Pacific Oil
& Gas.Secara khusus, PT AAG memiliki 200 ribu hektar lahan sawit,
karet, kakao di Indonesia, Filipina, Malaysia, dan Thailand. Di Asia, PT AAG
merupakan salah satu penghasil minyak sawit mentah terbesar, yaitu memiliki 19
pabrik yang menghasilkan 1 juta ton minyak sawit mentah – selain tiga pabrik
minyak goreng.
Terungkapnya
dugaan penggelapan pajak oleh PT AAG, bermula dari aksi Vincentius Amin Sutanto
(Vincent) membobol brankas PT AAG di Bank Fortis Singapura senilai US$ 3,1 juta
pada tanggal 13 November 2006. Vincent saat itu menjabat sebagai group financial controller di PT AAG – yang mengetahui
seluk-beluk keuangannya. Perbuatan Vincent ini terendus oleh perusahaan dan
dilaporkan ke Polda Metro Jaya. Vincent diburu bahkan diancam akan dibunuh.
Vincent kabur ke Singapura sambil membawa sejumlah dokumen penting perusahaan
tersebut. Dalam pelariannya inilah terjadi jalinan komunikasi antara Vincent
dan wartawan Tempo.
Pelarian VAS berakhir setelah pada
tanggal 11 Desember 2006 ia menyerahkan diri ke Polda Metro Jawa. Namun,
sebelum itu, pada tanggal 1 Desember 2006 VAS sengaja datang ke KPK untuk
membeberkan permasalahan keuangan PT AAG yang dilengkapi dengan sejumlah
dokumen keuangan dan data digital.Salah satu dokumen tersebut adalah dokumen
yang berjudul “AAA-Cross Border Tax Planning (Under Pricing of Export Sales)”,
disusun pada sekitar 2002. Dokumen ini memuat semua persiapan transfer pricing PT AAG secara terperinci.
Modusnya
dilakukan dengan cara menjual produk minyak sawit mentah (Crude Palm Oil) keluaran PT AAG ke perusahaan afiliasi
di luar negeri dengan harga di bawah harga pasar – untuk kemudian dijual
kembali ke pembeli riil dengan harga tinggi. Dengan begitu, beban pajak di
dalam negeri bisa ditekan. Selain itu, rupanya perusahaan-perusahaan luar
negeri yang menjadi rekanan PT AA sebagian adalah perusahaan fiktif.
Pembeberan
Vincent ini kemudian ditindaklanjuti oleh KPK dengan menyerahkan permasalahan
tersebut ke Direktorat Pajak – karena memang permasalahan PT AAG tersebut
terkait erat dengan perpajakan.Menindaklanjuti hal tersebut, Direktur Jendral
Pajak, Darmin Nasution, kemudian membentuk tim khusus yang terdiri atas
pemeriksa, penyidik dan intelijen. Tim ini bekerja sama dengan Pusat Pelaporan
dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Kejaksaan Agung. Tim khusus
tersebut melakukan serangkaian penyelidikan – termasuk penggeladahan terhadap
kantor PT AAG, baik yang di Jakarta maupun di Medan.
Berdasarkan
hasil penyelidikan tersebut (14 perusahaan diperiksa), ditemukan
Terjadinya penggelapan pajak yang berupa penggelapan pajak penghasilan (PPh)
dan pajak pertambahan nilai (PPN).selain itu juga “bahwa dalam tahun pajak
2002-2005, terdapat Rp 2,62 triliun penyimpangan pencatatan transaksi. Yang
berupa menggelembungkan biaya perusahaan hingga Rp 1,5 triliun. mendongkrak
kerugian transaksi ekspor Rp 232 miliar. mengecilkan hasil penjualan Rp 889
miliar. Lewat modus ini, Asian Agri diduga telah menggelapkan pajak penghasilan
untuk badan usaha senilai total Rp 2,6 triliun. Perhitungan SPT Asian Agri yang
digelapkan berasal dari SPT periode 2002-2005. Hitungan terakhir menyebutkan
penggelapan pajak itu diduga berpotensi merugikan keuangan negara hingga Rp 1,3
triliun.
Dari
rangkaian investigasi dan penyelidikan, pada bulan Desember 2007 telah
ditetapkan 8 orang tersangka, yang masing-masing berinisial ST, WT, LA, TBK,
AN, EL, LBH, dan SL. Kedelapan orang tersangka tersebut merupakan pengurus,
direktur dan penanggung jawab perusahaan. Di samping itu, pihak Depertemen
Hukum dan HAM juga telah mencekal 8 orang tersangka tersebut.
Terungkapnya
kasus penggelapan pajak oleh PT AAG tidak terlepas dari pemberitaan
investigatif Tempo – baik koran maupun majalah – dan
pengungkapan dari Vincent. Dalam konteks pengungkapan suatu perkara, apalagi
perkara tersebut tergolong perkara kakap, mustinya dua pihak ini mendapat
perlindungan sebagai whistle
blower. Kenyataannya, dua pihak ini di-blaming. Alih-alih memberikan perlindungan,
aparat penegak hukum malah mencoba mempidanakan tindakan para whistle blower ini. Vincent didakwa dengan
pasal-pasal tentang pencucian uang – karena memang dia, bersama rekannya,
sempat mencoba mencairkan uang PT AAG. Bahkan Vincent telah divonis dan dihukum
11 tahun penjara. Sementara itu, pesan pendek (SMS) Metta Dharmasaputra –
wartawan Tempo – disadap aparat penegak hukum, print-out-nya beredar di
kalangan pers. Pemberitaan investigatif Metta Dharmasaputra dan komunikasinya
dengan Vincent sempat menjadi urusan Dewan Pers, bahkan nyaris diproses secara
pidana.Selain itu, pemberitaan Tempo juga di-blaming melalui riset di bidang komunikasi
publik oleh dosen Fisipol UGM atas pesanan PT AAG – yang menyatakan bahwa pemberitaan-pemberitaan
seputar kasus penggelapan pajak tersebut tidak mencari solusi yang
komprehensif. Sedangkan P3-ISIP UI – yang melakukan riset serupa atas pesanan
PT AAG – menyimpulkan bahwa pers (pemberitaan Tempo)
cenderung melakukan bias dan keberpihakan yang secara etis patut direnungi.
Bisa jadi hasil-hasil riset tersebut sebagai legitimasi untuk memperkarakanTempo.Apa
yang dialami Vincent dan Tempo tersebut sebenarnya merupakan
cermin buram bagi perlindungan saksi di Indonesia selama ini. Kejadian ini
bukanlah yang pertama dialami para pengungkap fakta. Tetapi kejadian berulang
yang tujuannya tidak lain adalah untuk menutupi kejahatan yang sesungguhnya.
Para pengungkap fakta semacam ini sering mengalami berbagai bentuk kekerasan –
intimidasi dan teror, bahkan diperkarakan secara hukum – baik perdata maupun
pidana. Lihat saja misalnya Kasus Udin, kasus Endin Wahyudi, Kasus Ny Maria
Leonita, Kasus Romo Frans Amanue, dan banyak lagi.Jangan sampai apa yang
dialami Vincent dan Tempo tersebut menjadi alat untuk
membungkam pengungkapan kasus yang sesungguhnya, dalam hal ini dugaan
penggelapan pajak oleh PT AAG.
Ø Penyelesaian
Kasus Asian Agri: Di Dalam atau Luar Pegadilan?
PT
Asian Agri Group (AAG) diduga telah melakukan penggelapan pajak (tax evasion)
selama beberapa tahun terakhir sehingga menimbulkan kerugian negara senilai
trilyunan rupiah. Belum lagi kelar penyidikan, berkembang wacana mengenai
penyelesaian kasus itu di luar pengadilan (out of court settlement). Hal
ini sangat menggelisahkan kalangan yang menginginkan tegaknya hukum dan
terwujudnya keadilan, tanpa pandang bulu. Sangat ironis jika para penjahat
kelas teri ditangkapi, ditembaki, disidangkan, dan dimasukkan bui, sementara
itu penjahat kerah putih (white collar criminal) yang mengakibatkan
kerugian besar pada negara justru dibiarkan melenggang karena kekuatan kapital
nya.
Ø Celah
Keluar dari Pengadilan
Meski peraturan perundangan mengancam
pelaku tindak pidana perpajakan dengan sanksi pidana penjara dan denda yang
cukup berat, nyatanya masih ada celah hukum untuk meloloskan para penggelap
pajak dari ketok palu hakim di pengadilan. Pasal 44B UU No.28/2007 membuka
peluang out of court
settlement bagi tindak pidana
di bidang perpajakan. Ketentuan itu mengatur bahwa atas permintaan Menteri
Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan. Dengan demikian, kasus
berakhir (case closed) jika wajib pajak yang telah melakukan kejahatan
itu telah melunasi beban pajak beserta sanksi administratif berupa denda.
Ketentuan hukum nyatanya begitu lunak dalam mengatur tindak pidana perpajakan.
Peluang out of court
settlement dimungkinkan bagi
segala jenis tindak pidana perpajakan. Peluang itu tidak hanya berlaku untuk
“Perlawanan Pasif terhadap Pajak”, yaitu perlawanan yang tidak dilakukan secara
sadar atau disertai niat dari warga masyarakat untuk merintangi aparat pajak
dalam melakukan tugasnya. Penghentian penyidikan dan penyelesaian di luar
sidang juga berlaku untuk “Perlawanan Aktif terhadap Pajak” yang perbuatannya
dilakukan lewat cara-cara ilegal dan langsung ditujukan pada fiskus/pemerintah.
Jadi,
penyelesaian kasus tindak pidana perpajakan oleh Asian Agri Group meski masuk
kategori “Perlawanan Aktif terhadap Pajak” sekalipun – tetap dapat diselesaikan
di luar sidang pengadilan. Dengan demikian, harapan kita bergantung pada
Menteri Keuangan dan Jaksa Agung sebagai pihak yang paling menentukan dalam
proses penyelesaian tindak pidana perpajakan ini.
Ø Tidak Hanya Urusan Pajak
Menilik
modus operandi dalam kasus ini, penggelapan pajak bukanlah satu-satunya perbuatan
pidana yang bisa didakwakan kepada Asian Agri Group. Penyidikan terhadap Asian
Agri Group juga dapat dikembangkan pada tindak pidana pencucian uang (money laundering). Dalam hal
itu, penggelapan pajak oleh Asian Agri Group perlu dilihat sebagai kejahatan
asal (predict crime) dari tindak pidana pencucian uang. Sebagaimana
lazimnya, kejahatan pencucian uang tidak berdiri sendiri dan terkait dengan
kejahatan lain. Kegiatan pencucian uang adalah cara untuk menghapuskan bukti
dan menyamarkan asal-usul keberadaan uang dari kejahatan yang sebelumnya. Dalam
kasus ini, penggelapan pajak dapat menjadi salah satu mata rantai dari
kejahatan pencucian uang.
Asian
Agri Group mengecilkan laba perusahaan dalam negeri agar terhindar dari beban
pajak yang semestinya dengan cara mengalirkan labanya ke luar negeri
(Mauritius, Hongkong Macao, dan British Virgin Island). Surat Pemberitahuan
Tahunan (SPT) kelompok usaha Asian Agri Group kepada Ditjen Pajak telah
direkayasa sehingga kondisinya seolah merugi (Lihat pernyataan Darmin Nasution,
Direktur Jenderal Pajak, mengenai rekayasa SPT itu). Modus semacam itu memang
biasa dilakukan dalam kejahatan pencucian uang, sebagaimana juga diungkapkan
oleh Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Yunus
Hussein mengenai profile,
karakteristik, dan pola transaksi keuangan yang tidak beres sebagai indikasi
kuat adanya money laundering (Metro TV, 8/1/2008).
Kuatnya
dugaan tindak pidana pencucian uang oleh Asian Agri Group semakin didukung
fakta-fakta yang diperoleh lewat penelusuran Tempo.
Investigasi wartawan Tempo memperlihatkan adanya transaksi
mencurigakan melalui perbankan untuk mengalirkan uang hasil penggelapan pajak
Asian Agri Group ke afiliasinya di luar negeri yang ternyata adalah perusahaan
fiktif. Salah satu perusahaan fiktif itu adalah Twin Bonus Edible Oil and Fat, yang setelah dilakukan pengecekan
rupanya menggunakan alamat pabrik payung yang berkedudukan hukum di Hongkong (Tempo,
4/2/2007).
Catatan/profile transaksi keuangan yang tidak beres
dan adanya transaksi dengan perusahaan fiktif merupakan bukti permulaan yang
bisa digunakan untuk membuat terang dugaan tindak pidana pencucian uang.
Penyidikan selanjutnya bisa dilakukan dengan menyelusuri tiga tahapan dalam
kejahatan pencucian uang. Pertama,
penempatan (placement) yang dimulai dengan menyelundupakan penghasilan
yang diduga dari laba perusahaan ke negara lain.Kedua, pelapisan (layering) yaitu proses pemindahan dana
dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil upaya placement ke tempat lainnya melalui
serangkaian transaksi yang kompleks didesain untuk menyamarkan atau mengelabui
sumber uang haram terebut (mengenai tahap layering,
lihat: Yunus Hussein, 2007). Ketiga, integrasi(integration) yang merupakan tahap akhir dari
proses money laundering yang bertujuan menjadikan uang hasil
tindak pidana itu dapat digunakan/dinikmati selayaknya uang halal.
Ø Berujung
di Pengadilan
Berbeda dengan tindak
pidana perpajakan, dalam proses penyelesaian tindak pidana pencucian uang tidak
ada satu pihak pun yang diberi kewenangan untuk menghentikan penyidikan. Dengan
demikian, jika PPATK dan penyidik dapat melakukan koordinasi dengan baik untuk
menuntaskan penyidikan tindak pidana pencucian uang itu, maka persidangan kasus
ini pun dapat segera digelar. Akhirnya, lemahnya ketentuan hukum mengenai
perpajakan harus menjadi catatan lembaga legislatif. Ketentuan yang memberikan
kewenangan untuk menghentikan penyidikan tindak pidana perpajakan hanya akan
menimbulkan ketidakpastian hukum dan jelas tidak mampu menghadirkan keadilan.
Persetujuan kita bersama terhadap filosofi pajak yang tidak bertujuan
membangkrutkan usaha, semestinya juga tidak diinterpretasikan lewat kebijakan
yang membeda-beda kan kedudukan warga negara di hadapan hukum.
BAB III
KESIMPULAN
Ø Pajak
adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang —sehingga dapat
dipaksakan
Ø Fungsi
pajak :
-
Fungsi anggaran (budgetair)
-
Fungsi mengatur (regulerend)
-
Fungsi stabilitas
-
Fungsi redistribusi pendapatan
Ø Realisasi
penerimaan pajak 2012 per jenis pajak :
(PPN dan PPnBM) Rp336,05
triliun
Ø
Kasus Penggelapan Pajak
Meski
peraturan perundangan mengancam pelaku tindak pidana perpajakan dengan sanksi
pidana penjara dan denda yang cukup berat, nyatanya masih ada celah hukum untuk
meloloskan para penggelap pajak dari ketok palu hakim di pengadilan. Para
perusahaan-perusahaan besar ini, berusaha menghindari pengutan dengan berbagai
ide, bahkan tidak sedikit dari mereka yang memanipulasi jumlah pajak yang harus
mereka bayarkan ke kas Negara. Atau bahkan mereka lebih memilih kongkalikong
atau bekerjasama dengan petugas pajak. Salah satu kasus yang pernah terjadi di
Indonesia, suatu perusahaan lebih rela membayar mahal petugas pajak hanya untuk
membantu perusahaannya memanipulasi jumlah uang yang harus dibayarkan. Sudah
tertangkap dan terbukti salah, tetapi masih saja ada celah untuk meloloskan
diri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar