Mewujudkan GOOD
GOVERNANCE
diprovinsi Bengkulu
Diajukan
untuk memenuhi salah satu tugas Perekonomian Indonesia
Oleh :
Nama : Indri
Agustian Fitriani
NPM : 23212717
Kelas : 1EB19
FAKULTAS EKONOMI
JURUSAN AKUNTANSI
2012/2013
Jl. KH. Noer Ali, Kalimalang Bekasi Telp (021)
88860117
Mewujudkan GOOD
GOVERNANCE
diprovinsi Bengkulu
Pendahuluan
Otonomi
daerah sebagaimana yang diamanatkan dalam UU no 32 tahun 2004 diyakini
lebih menjamin segera terwujudnya demokratisasi pemerintahan yang
menyejahterakan seluruh/sebanyak-banyaknya lapisan masyarakat. Hal ini berbeda
dengan paradigma pembangunan nasional masa lalu yang berpola sentralistik yang
memarjinalisasi kesetaraan harkat dan rasa keadilan dan sebagian besar
lapisan/komponen rakyat. Sejatinya, dengan adanya otonomi daerah, pemerataan
pembangunan, pertumbuhan ekonomi, peningkatan kesejahteraan dan percepatan
pembangunan akan terwujud setelah diberlakukannya prinsip otonomi daerah
tersebut.
Namun
demikian, otonomi daerah juga telah menjadi celah baru bagi penyelewengan dan
penyalahgunaan kewenangan baik dari sisi sosial, ekonomi maupun politik.
Praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme manjadi semakin marak setelah
diberlakukannya otonomi daerah ini. Dengan adanya prinsip tata pemerintahan
yang baik atau yang lebih dikenal dengan istilah GOOD GOVERNANCE.
Tiga pilar pokok yang mendukung/mendorong suatu bangsa dalam melaksanakan
Good Governance
yaitu, pemerintah (the state),civil society (masyarakat
adab, masyarakat madani, masyarakat sipil), dan pasar atau dunia usaha yang diharapkan
mampu untuk mempersempit bahkan menutup celah penyelewengan yang sering terjadi
baru-baru ini, dan diharapkan menjadi pengikat kebersamaan provinsi Bengkulu
ini.
ISI
Sistem
sosial dan politik buruk dari demokrasi mulai berurat dan berakar dimasyarakat
dan telah menjadi sistem yang secara normatif telah diterima oleh masyarakat
dan siapa saja yang sedang memangku jabatan. Secara nasional, sudah banyak
kepala daerah, pejabat daerah maupun anggota legislatif akhirnya terpaksa
dipenjarakan akibat penyelewengan yang mereka lakukan secara berjamaah dalam
mengelola pemerintahan dan keuangan daerah.
Kesejahteraan,
pemerataan pembangunan, pemerintahan yang bersih dan berwibawa, semakin jauh
dari harapan. Pembangunan yang seharusnya terkoordinasi dari tingkatan Pusat
hingga ketingkat Kabupaten menjadi berjalan sendiri-sendiri. Antar daerah,
alih-alih bekerjasama, konflik masalah perbatasan justru lebih mendominasi.
Fenomena
ini juga terjadi di Propinsi Bengkulu. Propinsi yang terdiri atas 9 Kabupaten
dan 1 Kota ini turut “menikmati” celah kelemahan dari prinsip otonomi daerah.
Berbagai penyelewengan dari semangat otonomi daerah terjadi di Propinsi yang kita
cintai ini.
Praktek
korupsi, kolusi dan nepotisme yang semakin meningkat dan telah menajadi rahasia
umum di masyarakat Propinsi Bengkulu. Sementara, kesejahteraan, pemerataan,
pertumbuhan ekonomi, perluasan kesempatan kerja dan kenyamanan semakin melambat
atau bahkan menurun.
Kondisi
ini cenderung dipandang secara apatis oleh masyarakat. Penyelewengan yang
terjadi telah dianggap menjadi budaya umum yang berlaku bagi siapa saja yang
menjadi pejabat, legislatif atau kepala daerah. Selama kepentingan atau urusan
mereka tidak terganggu, mereka cenderung lebih memilih diam terhadap apa yang
terjadi.
Bila
melihat kecenderungan yang terjadi belakangan ini, maka timbul pertanyaan,
apakah otonomi daerah itu salah?.
Pertanyaan
seperti itu, tidak akan muncul apabila pemerintah, masyarakat dan dunia usaha
telah memahami dan memiliki goodwill dalam
mewujudkan prinsip tata pemerintahan yang baik atau yang lebih dikenal dengan
istilah GOOD GOVERNANCE.
Tata
kelola (governance) bisa dikatakan
merupakan elan vital bagi suatu pemerintahan dan birokrasi. Konsep governance ini
sendiri relatif masih baru. Konsep ini mulai dikenal ketika laporan Bank Dunia
mengenai negara-negara di Sub-Sahara Africa yang mengalami krisis dan diambang
tubir negara yang gagal di kawasan tersebut karena diakibatkan oleh apa yang
disebut sebagai “ crisis of governance ”
(World Bank, 1989).
Menurut
definisi Bank Dunia dalam Santiso (2001), tata kelola (governance)
mencakup bentuk dari rejim politik suatu negara yakni proses dimana kekuasaan
dijalankan dalam mengelola sumberdaya-sumberdaya ekonomi dan sosial untuk
pembangunan dan kapasitas pemerintah untuk mendisain, menformulasikan, dan
mengimplementasikan kebijakan-kebijakan serta menjalankan fungsi-fungsi
pemerintahan. Lebih jauh, Rhodes (1996) menyatakan bahwa konsep tata kelola
berkaitan dengan suatu perubahan dalam makna mengenai pemerintah dengan merujuk
kepada suatu proses dalam memerintah (governing ),
susunan aturan, atau metode dalam mengatur berbagai dimensi kehidupan
masyarakat.
Tata
kelola yang baik menuntut lebih dari sekedar kapasitas pemerintah yang memadai,
akan tetapi juga mencakup kaidah aturan yang menciptakan suatu legitimasi,
kerangka kerja yang efektif dan efisien dalam melaksanakan kebijakan publik.
Tata kelola yang baik berimplikasi pada pengelolaan urusan masyarakat dengan
cara yang transparan, akuntabel, partisipatif dan berkesetaraan.
Tata
kelola yang baik juga mencakup partisipasi dalam pembuatan kebijakan publik
yang efektif, penegakan hukum dan sistem peradilan yang independen, checks and
balances melalui pemisahan kekuasaan secara horisontal dan vertikal, dan adanya
lembaga-lembaga pengawas yang efektif. Dalam kaitannya dengan aspek-aspek
tersebut, para peneliti Bank Dunia (Kaufmann, Kraay and Zoido-Lobaton 1999)
menyebutkan enam dimensi utama dari tata kelola (good
governance) yakni suara dan akuntabilitas yang mencakup
kebebasan-kebebasan sipil dan stabilitas politik; efektivitas pemerintahan yang
mencakup kualitas pembuatan keputusan dan pelayanan publik; kebutuhan akan tanggung
jawab pengawasan; kaidah hukum yang mencakup perlindungan akan hak-hak
kepemilikan; dan independensi peradilan; serta kontrol terhadap tindak korupsi.
Konsep
tata kelola juga dapat dilihat dari dimensi ekonomi sebagai ‘sound
development management ‘. Oleh karenanya,
dorongan utama aktivitas-aktivitas yang berbasis tata kelola adalah hadirnya
manajemen birokrasi pemerintahan, pengelolaan keuangan negara, modernisasi
administrasi publik, dan privatisasi BUMN yang baik dan sesuai dengan rule of
the law . Pergeseran konsep tata kelola menjadi tata kelola yang baik juga
mencakup suatu dimensi normatif mengenai kualitas tata kelola.
Prinsip-prinsip
utama dari good governance meliputi
(Hardjasoemantri, 2003):
1.
Partisipasi masyarakat: semua warga masyarakat
mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun
melalui lembagalembaga perwakilan yang sah yang mewakili kepentingan mereka.
Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan
mengungkapkan pendapat, serta kepastian untuk berpartisipasi secara
konstruktif.
2.
Tegaknya supremasi hukum: kerangka hukum harus
adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk didalamnya hukum-hukum yang
menyangkut hak asasi manusia.
3.
Transparasi: transparansi dibangun atas dasar
informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintah, lembaga-lembaga, dan informasi
perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang
tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau.
4.
Peduli dan stakeholder:
lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintah harus berusaha melayani semua
pihak yang berkepentingan.
5.
Berorientas pada konsensus: tata pemerintahan
yang baik menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda demi terbangunnya
suatu konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi kelompok-kelompok
masyarakat, dan bila mungkin, konsensus dalam hal kebijakan-kebijakan dan
prosedurprosedur
6.
Kesetaraan: semua warga masyarakat mempunyai
kesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka.
7.
Efektifitas dan efisiensi: proses-proses
pemerintahan dan lembaga-lembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga
masyarakat dan dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal
mungkin.
8.
Akuntabilitas: para pengambil keputusan di
pemerintah, sektor swasta, dan organisasi masyarakat bertanggungjawab, baik
kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan.
9.
Visi strategis: para pemimpin dan masyarakat
memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang
baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan
untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga harus memiliki
pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya, dan sosial yang menjadi dasar
bagi perspektif tersebut.
Sementara
itu, pilar pokok yang mendukung kemampuan suatu bangsa dalam melaksanakan good
governance terdiri atas tiga pilar, yakni: pemerintah (the
state),civil society (masyarakat
adab, masyarakat madani, masyarakat sipil), dan pasar atau dunia usaha.
Penyelenggaraan
pemerintahan yang baik dan bertanggung jawab baru tercapai bila dalam penerapan
otoritas politik, ekonomi dan administrasi ketiga unsur tersebut memiliki
jaringan dan interaksi yang setara dan sinerjik. Interaksi dan kemitraan
seperti itu biasanya baru dapat berkembang subur bila ada kepercayaan (trust),
transparansi, partisipasi, serta tata aturan yang jelas dan pasti, Good
governance yang sehat juga akan berkembang sehat dibawah
kepemimpinan yang berwibawa dan memiliki visi yang jelas.
Bila
ketiga pilar pokok good governance di
Propinsi Bengkulu telah memahami hak dan kewjiban mereka dan memiliki itikad (goodwill)
dalam mewujudkan good governace ini,
maka otonomi daerah bukanlah celah untuk melakukan penyelewengan, tetapi
menjadi pengikat kebersamaan untuk membangun Propinsi Bengkulu bersama-sama.
PENUTUP
Pemerintahan
yang baik atau Good Governance, prinsip ini perlu diwujudkan untuk menutup celah penyelewengan seperti
yang akhir-akhir ini terjadi dimasyarakat berupa tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme.
Pemerintah,
masyarakat dan dunia usaha harus paham dan memiliki goodwill untuk mewujudkan
prinsip tata pemerintahan yang baik pula. Tak hanya kaidah aturan saja yang
diciptakan, namun kerangka kerja yang efektif dan efisien dalam melaksanakan
kebijakan public. Jika ketiga factor pendukung diatas memiliki interaksi,
kemitraan, kepercayaan, transparasi, partisipasi, serta tata aturan yang jelas
dan pasti, maka otonomi daerah dalam mewujudkan Good Governance tidak akan
menjadi celah untuk penyelewengan.
Pada
dasarnya prinsip-prinsip untuk mewujudkan good governance meliputi, yaitu:
a. Partisipasi masyarakat
b. Peduli
c. Transparasi
d. Visi strategis
e. Kesetaraan
Daftar Pustaka
http:/wecarebengkulu.wordpress.com/2009/06/08/mewujudkan-good-governance-di-propinsi-bengkulu/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar