Senin, 18 Maret 2013

mewujudkan good governance


Mewujudkan GOOD GOVERNANCE
diprovinsi Bengkulu

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Perekonomian Indonesia







Oleh :
Nama    : Indri Agustian Fitriani       
NPM     : 23212717
Kelas    : 1EB19

FAKULTAS EKONOMI
JURUSAN AKUNTANSI 2012/2013
Jl. KH. Noer Ali, Kalimalang Bekasi Telp (021) 88860117









Mewujudkan GOOD GOVERNANCE
diprovinsi Bengkulu

Pendahuluan
Otonomi daerah sebagaimana yang diamanatkan dalam UU no 32 tahun 2004 diyakini  lebih menjamin segera terwujudnya demokratisasi pemerintahan yang menyejahterakan seluruh/sebanyak-banyaknya lapisan masyarakat. Hal ini berbeda dengan paradigma pembangunan nasional masa lalu yang berpola sentralistik yang memarjinalisasi kesetaraan harkat dan rasa keadilan dan sebagian besar lapisan/komponen rakyat. Sejatinya, dengan adanya otonomi daerah, pemerataan pembangunan, pertumbuhan ekonomi, peningkatan kesejahteraan dan percepatan pembangunan akan terwujud setelah diberlakukannya prinsip otonomi daerah tersebut.
Namun demikian, otonomi daerah juga telah menjadi celah baru bagi penyelewengan dan penyalahgunaan kewenangan baik dari sisi sosial, ekonomi maupun politik. Praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme manjadi semakin marak setelah diberlakukannya otonomi daerah ini. Dengan adanya prinsip tata pemerintahan yang baik atau yang lebih dikenal dengan istilah GOOD GOVERNANCE. Tiga pilar pokok yang mendukung/mendorong suatu bangsa dalam melaksanakan Good Governance yaitu, pemerintah (the state),civil society (masyarakat adab, masyarakat madani, masyarakat sipil), dan pasar atau dunia usaha yang diharapkan mampu untuk mempersempit bahkan menutup celah penyelewengan yang sering terjadi baru-baru ini, dan diharapkan menjadi pengikat kebersamaan provinsi Bengkulu ini.




ISI
Sistem sosial dan politik buruk dari demokrasi mulai berurat dan berakar dimasyarakat dan telah menjadi sistem yang secara normatif telah diterima oleh masyarakat dan siapa saja yang sedang memangku jabatan. Secara nasional, sudah banyak kepala daerah, pejabat daerah maupun anggota legislatif akhirnya terpaksa dipenjarakan akibat penyelewengan yang mereka lakukan secara berjamaah dalam mengelola pemerintahan dan keuangan daerah.
Kesejahteraan, pemerataan pembangunan, pemerintahan yang bersih dan berwibawa, semakin jauh dari harapan. Pembangunan yang seharusnya terkoordinasi dari tingkatan Pusat hingga ketingkat Kabupaten menjadi berjalan sendiri-sendiri. Antar daerah, alih-alih bekerjasama, konflik masalah perbatasan justru lebih mendominasi.
Fenomena ini juga terjadi di Propinsi Bengkulu. Propinsi yang terdiri atas 9 Kabupaten dan 1 Kota ini turut “menikmati” celah kelemahan dari prinsip otonomi daerah. Berbagai penyelewengan dari semangat otonomi daerah terjadi di Propinsi yang kita cintai ini.
Praktek korupsi, kolusi dan nepotisme yang semakin meningkat dan telah menajadi rahasia umum di masyarakat Propinsi Bengkulu. Sementara, kesejahteraan, pemerataan, pertumbuhan ekonomi, perluasan kesempatan kerja dan kenyamanan semakin melambat atau bahkan menurun.
Kondisi ini cenderung dipandang secara apatis oleh masyarakat. Penyelewengan yang terjadi telah dianggap menjadi budaya umum yang berlaku bagi siapa saja yang menjadi pejabat, legislatif atau kepala daerah. Selama kepentingan atau urusan mereka tidak terganggu, mereka cenderung lebih memilih diam terhadap apa yang terjadi.
Bila melihat kecenderungan yang terjadi belakangan ini, maka timbul pertanyaan, apakah otonomi daerah itu salah?.
Pertanyaan seperti itu, tidak akan muncul apabila pemerintah, masyarakat dan dunia usaha telah memahami dan memiliki goodwill dalam mewujudkan prinsip tata pemerintahan yang baik atau yang lebih dikenal dengan istilah GOOD GOVERNANCE.
Tata kelola (governance) bisa dikatakan merupakan elan vital bagi suatu pemerintahan dan birokrasi. Konsep governance ini sendiri relatif masih baru. Konsep ini mulai dikenal ketika laporan Bank Dunia mengenai negara-negara di Sub-Sahara Africa yang mengalami krisis dan diambang tubir negara yang gagal di kawasan tersebut karena diakibatkan oleh apa yang disebut sebagai “ crisis of governance ” (World Bank, 1989).
Menurut definisi Bank Dunia dalam Santiso (2001), tata kelola (governance) mencakup bentuk dari rejim politik suatu negara yakni proses dimana kekuasaan dijalankan dalam mengelola sumberdaya-sumberdaya ekonomi dan sosial untuk pembangunan dan kapasitas pemerintah untuk mendisain, menformulasikan, dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan serta menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Lebih jauh, Rhodes (1996) menyatakan bahwa konsep tata kelola berkaitan dengan suatu perubahan dalam makna mengenai pemerintah dengan merujuk kepada suatu proses dalam memerintah (governing ), susunan aturan, atau metode dalam mengatur berbagai dimensi kehidupan masyarakat.
Tata kelola yang baik menuntut lebih dari sekedar kapasitas pemerintah yang memadai, akan tetapi juga mencakup kaidah aturan yang menciptakan suatu legitimasi, kerangka kerja yang efektif dan efisien dalam melaksanakan kebijakan publik. Tata kelola yang baik berimplikasi pada pengelolaan urusan masyarakat dengan cara yang transparan, akuntabel, partisipatif dan berkesetaraan.
Tata kelola yang baik juga mencakup partisipasi dalam pembuatan kebijakan publik yang efektif, penegakan hukum dan sistem peradilan yang independen, checks and balances melalui pemisahan kekuasaan secara horisontal dan vertikal, dan adanya lembaga-lembaga pengawas yang efektif. Dalam kaitannya dengan aspek-aspek tersebut, para peneliti Bank Dunia (Kaufmann, Kraay and Zoido-Lobaton 1999) menyebutkan enam dimensi utama dari tata kelola (good governance) yakni suara dan akuntabilitas yang mencakup kebebasan-kebebasan sipil dan stabilitas politik; efektivitas pemerintahan yang mencakup kualitas pembuatan keputusan dan pelayanan publik; kebutuhan akan tanggung jawab pengawasan; kaidah hukum yang mencakup perlindungan akan hak-hak kepemilikan; dan independensi peradilan; serta kontrol terhadap tindak korupsi.
Konsep tata kelola juga dapat dilihat dari dimensi ekonomi sebagai ‘sound development management ‘. Oleh karenanya, dorongan utama aktivitas-aktivitas yang berbasis tata kelola adalah hadirnya manajemen birokrasi pemerintahan, pengelolaan keuangan negara, modernisasi administrasi publik, dan privatisasi BUMN yang baik dan sesuai dengan rule of the law . Pergeseran konsep tata kelola menjadi tata kelola yang baik juga mencakup suatu dimensi normatif mengenai kualitas tata kelola.
Prinsip-prinsip utama dari good governance meliputi (Hardjasoemantri, 2003):
1.         Partisipasi masyarakat: semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembagalembaga perwakilan yang sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kepastian untuk berpartisipasi secara konstruktif.
2.         Tegaknya supremasi hukum: kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk didalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia.
3.         Transparasi: transparansi dibangun atas dasar informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintah, lembaga-lembaga, dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau.
4.         Peduli dan stakeholder: lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintah harus berusaha melayani semua pihak yang berkepentingan.
5.         Berorientas pada konsensus: tata pemerintahan yang baik menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda demi terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi kelompok-kelompok masyarakat, dan bila mungkin, konsensus dalam hal kebijakan-kebijakan dan prosedurprosedur
6.         Kesetaraan: semua warga masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka.
7.         Efektifitas dan efisiensi: proses-proses pemerintahan dan lembaga-lembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin.
8.         Akuntabilitas: para pengambil keputusan di pemerintah, sektor swasta, dan organisasi masyarakat bertanggungjawab, baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan.
9.         Visi strategis: para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga harus memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya, dan sosial yang menjadi dasar bagi perspektif tersebut.
Sementara itu, pilar pokok yang mendukung kemampuan suatu bangsa dalam melaksanakan good governance terdiri atas tiga pilar, yakni: pemerintah (the state),civil society (masyarakat adab, masyarakat madani, masyarakat sipil), dan pasar atau dunia usaha.
Penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bertanggung jawab baru tercapai bila dalam penerapan otoritas politik,  ekonomi dan administrasi ketiga unsur tersebut memiliki jaringan dan interaksi yang setara dan sinerjik. Interaksi dan kemitraan seperti itu biasanya baru dapat berkembang subur bila ada kepercayaan (trust), transparansi, partisipasi, serta tata aturan yang jelas dan pasti, Good governance yang sehat juga akan berkembang sehat dibawah kepemimpinan yang berwibawa dan memiliki visi yang jelas.
Bila ketiga pilar pokok good governance di Propinsi Bengkulu telah memahami hak dan kewjiban mereka dan memiliki itikad (goodwill) dalam mewujudkan good governace ini, maka otonomi daerah bukanlah celah untuk melakukan penyelewengan, tetapi menjadi pengikat kebersamaan untuk membangun Propinsi Bengkulu bersama-sama.



PENUTUP

Pemerintahan yang baik atau Good Governance, prinsip ini perlu diwujudkan  untuk menutup celah penyelewengan seperti yang akhir-akhir ini terjadi dimasyarakat berupa tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme.
Pemerintah, masyarakat dan dunia usaha harus paham dan memiliki goodwill untuk mewujudkan prinsip tata pemerintahan yang baik pula. Tak hanya kaidah aturan saja yang diciptakan, namun kerangka kerja yang efektif dan efisien dalam melaksanakan kebijakan public. Jika ketiga factor pendukung diatas memiliki interaksi, kemitraan, kepercayaan, transparasi, partisipasi, serta tata aturan yang jelas dan pasti, maka otonomi daerah dalam mewujudkan Good Governance tidak akan menjadi celah untuk penyelewengan.
Pada dasarnya prinsip-prinsip untuk mewujudkan good governance meliputi, yaitu:
a.       Partisipasi masyarakat
b.      Peduli
c.       Transparasi
d.      Visi strategis
e.       Kesetaraan


Daftar Pustaka

http:/wecarebengkulu.wordpress.com/2009/06/08/mewujudkan-good-governance-di-propinsi-bengkulu/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar