Nama Kelompok : Chandra
Fathria
Dwi U
Indri
Agustian F
Rahayu
Fitri R
Kelas : 4EB25
Pertumbuhan Ekonomi Inklusif Dan Penciptaan Lapangan
Kerja
Memasuki tahun 2014 ASEAN Economic
Community (AEC) menjadi topik yang semakin hangat diperbincangkan oleh
hampir semua kalangan, khususnya bagi para tenaga kerja. Setiap negara yang
tergabung dalam ASEAN akan memasuki babak baru dalam sejarah percaturan
geopolitik dan geoekonomi global. Salah satu hal yang melatarbelakangi
terbentuknya AEC adalah adanya presepsi dari negara-negara ASEAN apabila tidak
tergabung dalam sebuah pasar besar yang terintegrasi, maka akan tergerus dalam
persaingan global yang semakin meningkat. Pandangan akan sulitnya pembangunan
dan penyediaan lapangan pekerjaan mendorong ASEAN untuk membuat sebuah
kebijakan baru dalam kerjasama di bidang ekonomi. Pada akhirnya kesepakatan
pembangunan integrasi ekonomi di kawasan ASEAN tertuang dalam sebuah kebijakan
yang dinamakan AEC. Pembangunan adalah proses berkesinambungan yang harus
ditempuh suatu negara untuk meningkatkan taraf hidup masyarakatnya. Demi
tercapainya tujuan tersebut diperlukan sebuah pembangunan yang bersifat
inklusif khususnya bagi tenaga kerja.
Pembangunan inklusif adalah pembangunan
yang dapat memberikan manfaat bagi masyarakat secara umum. Permasalahannya
adalah pembangunan yang acap kali terjadi di negara berkembang adalah
pembangunan eksklusif. Pembangunan eksklusif adalah pembangunan yang hanya
memperhitungkan aspek pertumbuhan ekonomi tetapi kurang memperhitungkan
penyerapan tenaga kerja, sehingga dampaknya pengangguran tinggi, kemiskinan
meningkat, dan kerusakan lingkungan. Indonesia adalah salah satu negara di
dunia yang memiliki pertumbuhan ekonomi terbesar, yakni sebesar 5,9% dalam
periode 2009-2013. Sebuah hal yang membanggakan, tetapi mengukur hasil
pembangunan hanya dari pertumbuhan ekonomi akan membuat kita terlena dan
mengabaikan masalah ketidakmerataan masyarakat yang menerima hasil pembangunan.
Persoalan tercipta atau tidaknya
pembangunan inklusif tenaga kerja bukan hanya masalah orientasi pembangunan
dari suatu negara, tetapi juga masalah siap atau tidaknya tenaga kerja
Indonesia bersaing dalam lingkup global. Bung Karno dalam orasinya pernah
berkata “Barang siapa ingin mutiara, ia harus berani terjun di lautan yang
dalam”. Sepenggal kalimat yang terlontar dari Presiden Pertama Republik
Indonesia tersebut dapat menjadi refleksi bagi para generasi muda Indonesia
dalam menghadapi tantangan global. AEC adalah sebuah lautan yang dalam tetapi
menawarkan mutiara yang melimpah. Mutiara memang bisa dibeli di pasar, tetapi
dengan harga yang tidak murah. Keuntungan hanya akan didapat bagi mereka yang
melakukan persiapan matang, memiliki kemampuan menyelam yang handal, dan berani
menyelam ke hingga ke dasar lautan.
Pemerintah Fokus Ciptakan Lapangan Kerja
yang Layak
Pemerintah Indonesia terus fokus pada
upaya penciptaan lapangan kerja layak dan berkeadilan untuk menekan angka
pengangguran sehingga dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat.
"Pemerintah terus berkomitmen memajukan aspek ekonomi sosial dan
lingkungan masyarakat," kata Menteri Ketenagakerjaan Muhamad Hanif Dhakiri
dalam sambutannya yang dibacakan Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan
Tenaga Kerja Kementerian Ketenagakerjaan Reyna Usman di Jakarta, Selasa
(24/2/2015).
Sambutan itu disampaikan dalam diskusi
yang diselenggarakan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) bertajuk
"Mencapai Pembangunan Berkelanjutan melalui Penciptaan Lapangan Kerja dan
Pekerjaan yang Layak untuk Semua". Diskusi yang diselenggarakan itu adalah
pertemuan nasional yang menjadi bagian dari Segmen Integrasi Dewan Ekonomi dan
Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa (ECOSOC) 2015 di New York pada akhir Maret.
Dalam sambutan itu, Muhamad Hanif
mengatakan penanggulangan pengangguran dan kemiskinan akan dilakukan melalui
lima pilar utama program perluasan penciptaan lapangan pekerjaan yakni
perbaikan layanan dan sistem informasi dan peningkatan keterampilan dan
kapasitas pekerja.
Kemudian, pengembangan sumber daya dan
usaha kecil menengah, peningkatan pembangunan infrastruktur termasuk
infrastruktur berbasis komunitas serta program darurat ketenagakerjaan. Reyna
mengatakan selain pekerjaan layak dan berkeadilan, jaminan sosial dan tingkat
upah untuk kesejahteraan pekerja, peningkatan produktivitas kerja di daerah
pedesaan juga menjadi perhatian pemerintah.
Hal tersebut, katanya, sesuai dengan
upaya ILO untuk mengkaji pembelajaran dan rekomendasi kebijakan mengenai
pekerjaan layak dan pembangunan berkelanjutan. Dengan target menciptakan dua
juta lapangan kerja, pihaknya juga mengajak investor untuk menciptakan industri
yang dapat memberikan lapangan pekerjaan lebih banyak.
"Target menciptakan lapangan kerja
dua juta orang itu bisa pada sektor padat karya, kita mengajak
investor-investor agar membuka padat karya tetapi tidak hanya di Jawa tetapi di
luar Jawa," ujarnya usai diskusi itu. Tentunya, pemberdayaan sumber daya
manusia untuk padat karya, pelatihan teknologi tepat guna dan pendidikan kewirausahaan
maupun keterampilan bekerja di industri-industri akan terus ditingkatkan,
katanya. Ia mengatakan pihaknya juga akan mendorong perluasan kesempatan kerja
bagi pekerja muda seperti lulusan sarjana yang belum mendapatkan pekerjaan
sesuai.
"Kami akan mendorong generasi muda,
pekerja muda juga didorong yang penganggur dan setengah penganggur kita harus
bekerja yang layak dan 'green jobs' (pekerjaan ramah lingkungan," ujarnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Agustus 2014, jumlah penganggur terbuka sebanyak
7,24 juta orang atau sekitar 5,94 persen. Angka itu menunjukkan kenaikan jika
pada Februari 2014 jumlah penganggur terbuka 7,15 juta orang atau sekitar 5,70
persen.
Untuk itu, lanjutnya, seluruh masukan
dan kerja sama dari semua pihak sangat dibutuhkan untuk mewujudkan pekerjaan
layak dan menekan angka pengangguran di Indonesia. Pertemuan nasional itu
mendiskusikan permasalahan perburuhan dan ketenagakerjaan mengenai enam hal
yakni kebijakan-kebijakan untuk meningkatkan industri manufaktur dan memperluas
sektor jasa yang berkualitas tinggi.
Kemudian, peran upah minimum,
perundingan bersama dan bentuk reformasi lainnya untuk mengurangi ketimpangan
upah dan reformasi dan pelatihan bagi pekerja. Selain itu, diskusi yang
berlangsung dua hari hingga Rabu (25/2) itu juga akan membahas permasalahan
terkait pelatihan bagi pekerja, sistem pensiun untuk membantu mempromosikan
pertumbuhan inklusif.
Dua permasalahan lainnya adalah
perlindungan pekerja migran dan kebijakan untuk pekerjaan yang lebih baik di
pedesaan. "Tantangan di masa mendatang adalah mempertahankan kinerja
ekonomi dan memastikan proses pembangunan menjadi lebih inklusif dan
berkelanjutan melaluinpertumbuhan yang kaya lapangan kerja," kata Asisten
Direktur Jenderal ILO dan Direktur Regional untuk Asia dan Pasifik Tomoko
Nishimoto.
Kendala dalam Pembangunan Inklusif
Tenaga Kerja
Sejak ditandatangani oleh 10 Kepala
Negara ASEAN di Singapura pada 20 November 2007, AEC Blueprint telah
menetapkan beberapa tujuan integrasi ekonomi ASEAN. Salah satu tujuannya adalah
memberikan jaminan kebebasan mobilitas bagi para tenaga kerja di kawasan.
Komitmen Indonesia dalam liberalisasi jasa di tingkat ASEAN tercantum dalam Schedule
of Specific Commitment pada pertemuan AFAS paket ke-6 2007 meliputi jasa
bisnis, jasa komunikasi, jasa konstruksi, jasa pendidikan, jasa lingkungan,
jasa distribusi, jasa kesehatan, jasa pariwisata dan perhotelan, jasa teknologi
dan informasi, jasa energi, dan jasa periklanan. Setidaknya terdapat lima jenis
kendala khususnya bagi pekerja Indonesia untuk berkembang dalam AEC kelak.
Pertama, minimnya tenaga kerja terampil.
Dijaminnya mobilitas bagi para tenaga kerja di kawasan ASEAN akan menjadikan
persaingan antara para pencari kerja semakin ketat. Permasalahannya adalah
mobilitas tersebut hanya dijamin bagi para tenaga kerja terampil, padahal
menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2014 jumlah tenaga
kerja di Indonesia didominasi oleh lulusan Sekolah Dasar (SD) kebawah sebanyak
55.300.000 jiwa (46,80%). Jumlah tersebut jauh lebih besar dibanding tenaga
terampil dengan lulusan diploma sebanyak 3.100.000 jiwa (2,65%) dan universitas
hanya sebanyak 8.800.000 jiwa (7,49%). Ketika AEC mulai berjalan kelak kualitas
tenaga kerja terampil dari suatu negara akan menentukan bagaimana perjalananan
negara tersebut dalam mengarungi derasnya persaingan ekonomi antarnegara.
Dominasi lulusan SD yang sebesar 46,80% dari penduduk usia produktif akan
menjadikan langkah Indonesia semakin berat. Sisi positifnya adalah angka
perbaikan kualitas pendidikan penduduk usia produktif telah ditunjukkan dengan
adanya peningkatan dalam setahun terakhir, yakni penduduk berpendidikan tinggi
(diploma dan universitas) meningkat dari 11.300.000 (9,72%) pada Februari 2013
menjadi 12.000.000 (10,14%) pada Februari 2014. Kedepan salah satu tugas utama
pemerintah adalah mempersiapkan sumber daya manusia unggul dan berdaya saing
dengan memastikan pembangunan ekonomi berjalan linear dengan pembangunan
manusia.
Kedua, infrastruktur tidak memadai.
Sangat sulit berbicara peningkatan kualitas tenaga kerja tanpa diimbangi dengan
kualitas infrastruktur yang ada. Infrastruktur adalah komponen vital dalam
pembangunan sosial dan ekonomi suatu bangsa. Infrastruktur yang baik akan
mendorong pembangunan manusia Indonesia berdaya saing unggul. Akses terhadap
pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan fasilitas publik lainnya akan menentukan
kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia. Pembangunan infarstruktur di
Indonesia masih jauh tertinggal jika dibandingkan dengan negara Asia lainnya.
Pada tahun 2013, alokasi untuk pembangunan infrastruktur hanya 3,8% dari
Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Di tahun 2014, alokasi dana untuk
infrastruktur hanya Rp 230 triliun atau 2,3%. Bandingkan dengan India yang
memberikan porsi biaya infrastruktur 7%, atau bahkan Tiongkok yang mencapai
11%. Percepatan pembangunan infrastruktur dapat mendorong peningkatan kualitas
SDM sehingga dapat menjadi salah satu jawaban akan ketatnya persaingan tenaga
kerja kelak.
Ketiga, terjadi stigmanisasi rendahnya
kualitas Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Berbagai kasus demi kasus yang menimpa
TKI di dalam dan luar negri acap kali memberikan image bahwa tenaga
kerja indonesia memiliki kompetensi rendah. Terbentuknya stigma rendahnya
kualitas TKI tentu tidak tepat, karena apabila ditilik lebih jauh lagi banyak
TKI yang mampu meraih berbagai posisi penting di mancanegara. Namun karena
terciptanya judgement awal yang merugikan tadi, tidak jarang para TKI
kerap dikesampingkan dalam persaingan dengan Tenaga Kerja Asing (TKA). Situasi
ini tentu merugikan Indonesia karena para pekerjanya akan mengalami kesulitan
dalam mengakses lapangan pekerjaan di lingkup ASEAN.
Keempat, terjadinya discriminative
treatment terhadap TKI. Praktikdiscriminative treatment ini
sebenarnya sudah dilarang dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan
dan melanggar prinsip nondiscrimination dalam General Agreement
on Trade and Services (GATS). Permasalahannya sudah menjadi rahasia umum
di Indonesia bahwa banyak pekerja asing memiliki penghasilan diatas para
pekerja lokal. Posisi dan tanggung jawab yang lebih besar tidak menjamin para
TKI mendapat perlakuan lebih baik daripada para TKA. Disisi lain pengupahan
yang lebih rendah memang menjadi daya tarik bagi para perusahaan untuk
mempekerjakan para TKI. Namun sebagai bangsa yang bermartabat tentu akan sedih
apabila para pekerjanya dipekerjakan bukan karena kompetensi yang dimiliki
tetapi karena upah yang murah.
Kelima, kelangkaan pekerja dengan kualifikasi
khusus. Ketika AEC berjalan kelak ada beberapa jenis formasi pekerjaan yang
membutuhkan kualifikasi tertentu. Pekerjaan tersebut membutuhkan keahlian
khusus yang sulit didapatkan dari para TKI sehingga mendorong penggunaan TKA.
Misalnya saja di industri pengolahan produk perikanan, ahli penyakit ikan yang
dipakai adalah tenaga kerja dari Thailand, India, dan Malaysia. Di Indonesia
tenaga ahli ini masih terbilang langka.
Upaya Pembangunan Inklusif Tenaga Kerja
Dari kajian diatas dalam rangka menghadapi
AEC 2015 perlu dilakukan reorientasi pembangunan di Indonesia, dari pembangunan
eksklusif menjadi pembangunan inklusif khususnya bagi tenaga kerja. AEC 2015
akan menjadikan ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi arus barang,
jasa, investasi dan tenaga terampil. Aliran komoditi dan produktifitas di
kawasan ASEAN diharapkan dapat mendorong ASEAN menjadi kawasan yang makmur
dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi sehingga dapat menekan angka kemiskinan
dan masalah sosial yang ada. Perlu dipahami bahwa untuk mencapai tujuan
tersebut diperlukan bekal berupa pembangunan inklusif bagi tenaga kerja.
Langkah utama pembangunan inklusif tenaga kerja adalah mengarahkan pembangunan
nasional menuju peningkatan modal manusia(human capital). Modal utama menghadapi
AEC adalah sumber daya manusia yang berkualitas. Peningkatan modal manusia
hanya dapat dicapai jika infrastruktur berupa pendidikan, transportasi, dan
kesehatan terpenuhi di atas kebutuhan minimal. Kualitas SDM harus ditingkatkan
baik dari segi pendidikan formal maupun keterampilannya. Pemberian pelatihan
keterampilan juga harus memperhatikan potensi yang dimiliki oleh daerah-daerah
di Indonesia. Misalnya saja di Klaten yang terkenal akan lumbung padinya, maka
disana dapat diberikan pelatihan pengelolaan padi yang unggul. Mobilitas para
tenaga kerja Indonesia juga harus dijamin ketika AEC mulai berjalan dengan
memanfaatkan adanya nota saling pengakuan/ MRAs. Melalui MRA’s kualifikasi SDM
Indonesia dapat diakui di luar negri. Ketika MRAs mengalami hambatan, jalan
lainnya adalah melalui optimalisasi peran Badan Standardisasi Nasional (BSN)
melalui jalinan kerjasama dengan negara lain atau organisasi internasional.
Kesimpulan
Sebagai bangsa yang sedang dalam proses
pembangunan, Tenaga Kerja Indonesia saat ini sedang menghadapi tantangan yang
luar biasa, baik dari dalam maupun dari luar negeri. Dari dalam negri
pembangunan yang selama ini dijalankan lebih berorientasi pada pembangunan
eksklusif. Hal itu terbukti dengan tingginya angka pertumbuhan ekonomi, tetapi
angka pengangguran, kemiskinan, dan kerusakan lingkungan juga tinggi.
Pembangunan eksklusif terjadi karena dorongan untuk mengejar ketertinggalan
laju pertumbuhan ekonomi dari negara-negara maju. Demi mengejar ketertinggalan
tersebut, Indonesia berlomba dengan negara berkembang lainnya menjalankan
program pembangunan ekonomi dengan memprioritaskan pada sektor-sektor yang
mampu mencapai nilai tambah yang lebih tinggi dan mengabaikan dampak negatif
yang ditimbulkannya. Dari luar tantangan yang akan dihadapi Indonesia adalah
kenyataan bahwa batas negara di era globalisasi ini semakin terlihat kabur
khususnya dari aspek ekonomi. Dunia ini telah menjadi satu sistem yang terbuka,
saling terkoneksi dan saling ketergantungan antarnegara. Dalam konsep new
paradigm of international relations tidak ada negara manapun yang mampu
menutup diri, semua saling berinteraksi dan berintegrasi dalam pergaulan
global. Persaingan tenaga kerja kelak tidak dapat dihindari namun dapat
dipersiapkan dengan pembangunan inklusif tenaga kerja.
Perlu di pahami bahwa pada akhirnya
berhasil atau tidaknya seseorang dalam persaingan tenaga kerja akan kembali
pada etos kerja orang tersebut. Seorang pelaut hebat tidak terlahir dari laut
yang tenang, dibukanya pasar tunggal yang bebas di ASEAN adalah ombak besar
yang akan menjadikan para tenaga kerja Indonesia berkembang menjadi lebih
besar, menjadi aktor penting di kawasan ASEAN. Rasa minder atas masalah
ketenagakerjaan sudah selayaknya dihapus. Bukan saatnya lagi untuk sekedar
berdebat dan berwacana, kita harus bangkit membangun diri mengejar
ketertinggalan kita dengan negara lain. Sudah saatnya para tenaga kerja
Indonesia memainkan peran yang lebih besar di kawasan ASEAN.
SARAN
Permasalahan pengangguran ini berdampak
buruk bagi pemerintah. Karena menghambat program pemerintah dalam
pemerataan pembangunan, juga menghambat program pemerintah untuk memakmurkan
bangsa Indonesia. Maka dari itu pemerintah membuat solusi-solusi untuk
mengurangi pengangguran. Pengangguran tidak bisa dihilangkan tetapi hanya bisa
dikurangi. Mengingat keadaan ekonomi bangsa Indonesia itu sendiri yang masih
belum mapan. Dalam permasalahan ini, pengangguran menjadi salah satu tanggungan
pemerintah. Beberapa cara yang dapat dilakukan, antara lain:
1.
Meningkatkan
infrastruktur seperti pendidikan, transportasi dan kesehatan terpenuhi diatas
kebutuhan minimal.
2.
Memberikan
pendidikan yang lebih efektif dan mendukung penuh bidang pendidikan agar
masyarakat lebih memiliki kualitas yang tinggi serta menjadi manusia yang
berwawasan luas.
3.
Meningkatkan
pelatihan tenaga kerja. Calon tenaga kerja dan atau tenaga kerja harus
mendapatkan pelatihan tenaga kerja untuk menambah kualitas dari tenaga kerja
itu sendiri. Dan terus mendapat pengalaman dari pelatihan tenaga kerja agar
lebih siap dalam persaingan. Keterampilan tenaga keja juga harus diperbaiki
guna memennuhi kebutuhan industri modern.
4.
Memfasilitasi
dan mendorong terbukanya sektor informal, seperti home industry.
5.
Pemerintah
memberikan penyulahan kepada wiraswasta agar lebih semangat dan semakin
banyaknya masyarakat yang membuka usaha agar terciptanya lapangan kerja yang
semakin luas.
6.
Mengoptimalkan
pembangunan berbasis sistem padat karya.
SUMBER :